Hujan dan Kekasih

Fadi Muhammad, teman masa kecilku yang rumahnya tepat di depan rumahku. Aku mengenalnya sejak aku masih belajar jalan, walau aku mungkin tidak ingat. Hal pertama kali yang dapat aku ingat bersama dengannya adalah saat dia memboncengku di sepedanya dan kami terjatuh di kubangan lumpur kerbau di sawah dekat rumah kami.
Aku masih ingat bau menjijikkan yang menempel di tubuhku waktu itu. Alhasil, ibuku mengomeli kami berdua habis-habisan, dan dilanjutkan dengan memandikan kami berdua. Waktu itu aku berumur tiga tahun, dan Fadi berumur tujuh tahun. Ya, aku berbeda empat tahun darinya. Namun, aku benci mengingat-ingat bahwa waktu itu ibu memandikan kami berdua bersamaan.

Dua puluh tahun setelah itu, di sinilah kami sekarang. Tinggal di sebuah apartemen yang berhadap-hadapan. Aku tidak mengerti bagaimana caranya, padahal kami bekerja di perusahaan berbeda. Tapi, entah kenapa kami bisa mendapatkan kamar yang berhadapan seperti ini.

“Takdir…”

Itulah tanggapan Fadi saat kami mengetahui kalau kami akan tinggal berdekatan kembali beberapa tahun ke depan. Aku hanya mengangkat bahu, mengisyaratkan kalau aku tidak ingin berkomentar banyak tentang kebetulan ini, lalu menutup pintu untuk membereskan apartemen baruku.

Bisa dibayangkan dengan jarak pintu yang hanya terpisah dua meter, bagaimana mungkin seorang Fadi akan betah tinggal di kamarnya seharian tanpa menyambangiku? Bahkan saat kami masih tinggal di rumah masing-masing dan ia harus melewati beberapa rintangan seperti anjing kesayangan ayahku yang galak yang entah kenapa sangat tidak menyukai Fadi, pintu rumah, ruang makan, dapur, omelan ibuku yang menanyakan kapan dia akan melamarku (What the??), tangga kayu yang cukup tinggi, bahkan daun pintu kamarku yang dingin yang tidak akan kubuka jika aku sedang tidak terlalu ingin bertemu dengannya. Saat itu terjadi, maka Fadi akan duduk bersender di pintu kamarku sehingga dia akan terjatuh ke dalam jika suatu saat aku membuka pintu, melempar senyuman khasnya kepadaku, menandakan bahwa dia senang karena akhirnya dapat melihat wajahku.

“Oh, dear…kenapa kau butuh waktu begitu lama hanya untuk membuka pintu? Apakah kunci kamarmu hilang?”
“Tidak, hanya saja aku sulit menemukannya di tengah-tengah tumpukan buku-bukuku,” dustaku.

Fadi tidak pernah mau masuk ke dalam kamarku dan aku juga tidak pernah menawarkan hal ini kepadanya karena aku merasa risih jika ada orang selain ayah, ibu dan adikku yang masuk ke kamarku. Teman dekatku sekalipun, apalagi Fadi yang aku yakin pasti tidak akan bisa diam dan menanyakan berbagai hal yang ada di kamarku. Bahkan tidak menutup kemungkinan kalau dia bisa menyulap kamarku menjadi lebih cantik dan mengerikan.

Tapi, aku pernah bertanya kepadanya suatu hari.

“Kenapa kau tidak masuk? Kau tahu, berdiri di depan pintu itu melelahkan.”

Perhatian! Aku hanya bertanya, tidak menawarkannya untuk masuk ke kamar!

“Kau ingin aku masuk?”
“Tidak, aku hanya bertanya kenapa kau tidak masuk. Itu berbeda dengan aku berkata ‘Silahkan masuk’, bukan?”
“Ah, iya..benar juga..”

Orang ini…

“Hmmm, kenapa yaa??” gumamnya dengan gaya pura-pura bodoh yang mengerikan. Aku tidak kuat melihatnya lama-lama.
“Karenaaa…” ucapnya panjang dan menggantung, membuat orang yang mendengar menjadi penasaran.
“Karena?”
“Aku ‘kan bukan ayah atau suamimu…”

Ooooh…

“Aku baru akan masuk ke kamarmu, jika aku sudah menikah denganmu.”
“Heh, memangnya siapa yang mau menikah denganmu?”
“Hahaha, kau bercanda ‘kan?”
“Tapi,” aku tidak menggubris pertanyaan sebelumnya. “Bukankah zaman sekarang sudah biasa bagi seorang pria masuk ke dalam ke kamar kekasihnya. Bahkan tidak jarang mereka mengacak-acak kamarnya atau si empunya kamar…”
“Wah, kata-katamu terdengar mengeneralisasi…”

“Tapi, aku menghargaimu yang tidak memasuki kamarku.”

Komentar

Postingan Populer