Hujan dan Kekasih

Aku merasakan gerakan pelan dari tangannya. Pelan, sangat pelan, nyaris tidak terasa di dalam tanganku yang terus bergetar. Aku berusaha merasakannya dengan lebih teliti, meyakinkan diriku bahwa kini dia sedang berusaha untuk bangun, berusaha membuatku untuk tidak lebih khawatir. Gerakan tangannya semakin terasa dan kini aku memegang tangannya dengan kedua tanganku.


“Rei…bangunlah, kau membuat jantungku hampir berhenti, kau tahu?” aku berusaha mengatakannya dengan nada sedikit bercanda agar suaraku tidak terdengar menyedihkan di telinganya. Seolah memberikan jawaban atas perkataanku, Rei berusaha balas menggenggam tanganku. Aku tahu, dia dapat mendengarku.

“Rei, bukalah matamu, agar aku bisa melihat matamu yang menyebalkan itu…”
Aku melihat bola matanya bergerak-gerak di balik kelopak matanya, bergerak sangat pelan seperti gerakan tangannya tadi. Tidak akan terlihat kecuali jika kau memperhatikannya dengan benar-benar teliti. Lalu, kelopak mata atasnya terbuka pelan, lalu tertutup. Terbuka lalu tertutup kembali, seolah dia sedang berusaha menjelaskan pandangannya. Semakin lama matanya semakin lebar, namun terus seperti itu. Membuka lalu menutup untuk waktu yang cukup lama. Aku belum berani mengeluarkan suara karena aku yakin dia pasti akan membentakku jika aku mengganggunya yang sedang berkonsentrasi. Aku menunggunya, menunggunya memanggilku namaku terlebih dahulu, memastikan bahwa dia benar-benar sudah baik-baik saja.

Kutunggu cukup lama, namun dia tak kunjung memanggilku. Tangannya masih menyentuh kedua tanganku dengan lemah, matanya menatap lurus ke arah langit-langit, tidak lagi membuka dan menutup dengan aneh seperti tadi. Apa yang dia lihat di atas sana?

“Hei…” kedua bibirnya yang berwarna pink alami itu terbuka, dan suara yang sedikit serak keluar dari baliknya.

“Rei…”

“Ini di mana?” ucapnya dengan nada ketusnya yang seperti biasa.

“Di rumah sakit…” aku berusaha menjawab dengan lembut, tidak meladeni sikap ketusnya.

“Oooh, rumah sakit ini tidak punya genset ya?”

Eh?

“Listriknya mati, satu lilin pun tak ada…menyedihkan…”

Aku tersentak mendengar perkataan Rei barusan. Jika tadi aku berkata bahwa jantungku hampir berhenti saat melihatnya yang terbaring lemah di atas tempat tidur rumah sakit ini, kini aku ingin mengatakan padanya kalau untuk beberapa detik, jantungku benar-benar berhenti berdetak. Mataku tidak berkedip, dan genggaman tanganku pada tangannya melonggar. Aku merasa seolah-olah akulah yang baru mengalami kecelakaan dan kepalaku lah yang telah terbentur. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih, hanya karena beberapa kalimat yang kelur dari mulutnya tadi. Padahal si sakit terlihat begitu tenang, seolah dia sedang sehat walafiat. Dunia sudah gila…tidak, akulah yang gila.

“…Rei…” ucapku dengan suara yang nyaris tak terdengar.

“Mmm?” sahutnya singkat dengan sebelah alis yang terangkat.

Oh, my dear…apa yang harus kukatakan padamu?

Aku menelan ludah, berusaha menguatkan hati dan pikiranku yang sejak beberapa jam lalu sudah tidak merasa tenang. Aku mempererat genggaman tanganku padanya, kulihat Rei bereaksi dengan tindakanku dan seolah membiarkanku melakukan apa yang ingin kulakukan, dia hanya diam saja dengan kepala tetap menghadap ke atas, menatap langit-langit tinggi yang putih dan dingin.

“Hei, Rei…jika suatu saat dunia ini kehilangan semua sumber cahayanya, termasuk matahari, apa yang akan kau lakukan?” tanyaku dengan suara yang kubuat agar terdengar setenang mungkin.

“Kenapa pertanyaanmu aneh seperti itu? Kau tidak sedang mengajakku bermain teka-teki kan?”

“Kalau kau ingin menganggapnya seperti itu, terserah…”

“Hmmm…” Rei terlihat sedang berpikir dengan polosnya, sama sekali tidak merasa heran dengan pertanyaan yang aneh itu.

“…Ah, aku akan…”

Akan…?

“...mencari sumber cahaya yang baru…” jawabnya ringan. “Apa pun, itu aku akan berusaha mencari dan menggunakannya. Jika masih tidak bisa kutemukan, aku akan menggunakan telinga, tangan dan kakiku untuk melihat. Tuhan tidak hanya memberikan kita mata untuk menikmati dunia ini bukan?”

Aku terkesiap mendengar jawabannya. Kulihat senyuman tipis terukir di bibirnya. Kenapa wanita ini terdengar begitu yakin? Kenapa dia selalu bisa optimis dalam keadaan apa pun? Apa yang membuatnya begitu kuat, bahkan aku pun sudah hampir menangis sekarang ini? Oh, my dear…My dear Rei…

“Kalau kau…apa yang akan kau lakukan?” gadis itu balik bertanya. Kepalaku yang tadi tertunduk kembali terangkat.

“Aku?” aku berdeham pelan, mencoba mengatur suaraku. “Aku akan…membantumu…aku akan menjadi matamu…”

Oh, Tuhan…kenapa kini jantungku berdetak begitu cepat? Mataku sudah begitu perih karena menahan tangis. Suaraku semakin tercekat, aku kini begitu takut untuk berkata-kata lagi. Apa yang harus kulakukan untuk memberitahunya?

Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berusaha menahan emosi yang ingin kuluapkan sejak tadi. Perasaan marah dan tidak berdaya yang ingin kusampaikan padanya dan diriku sendiri. Tapi, aku sadar aku tidak bisa bersikap tidak dewasa. Aku harus mencari saat dan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan apa yang ada di pikiranku sekarang ini.

“Rei…”

“Ada apa lagi?”

“Apa kau tahu lampu menyala begitu terang di ruangan ini?” aku bertanya dengan suara yang terdengar bergetar. Rei terdiam, tak menjawab dan menyahut apa pun. Tak ada tanggapan apa pun yang keluar dari mulutnya yang biasa bekata ketus itu. Dia hanya terdiam dan terus menatap langit-langit di hadapannya…yang sebenarnya tidak dapat ia lihat.

Komentar

  1. nice blog ,,this is my first time i visit your site...hope i'll learn much about information on your site..regards

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer