Tentang Pilihan (lagi) - Masa Depan dan Pernikahan

Dua atau tiga tahun terakhir, saya merasa saya terlalu banyak 'mikir'.
'Mikir' alias 'berandai-andai', 'menduga-duga', 'mengira-ngira'.
Dan memang aktivitas macam begini kalau tidak dikendalikan ya bisa bikin stress. Biasanya dalam 1 tahun, ada lah masanya pikiran-pikiran yang kadang ga terlalu berguna ini numpuk dan bikin semua runyam. Tapi, biasanya akan ada waktunya saya 'sehat' dan bisa beraktivitas sebagaimana biasa.

Sejak saya sadar 'kebiasaan buruk' saya ini, saya mulai memfilter pikiran-pikiran aneh yang sering berseliweran di kepala saya. Untungnya, saya masih punya orang-orang yang rajin 'ngecek' saya. Saya tipe orang yang ga akan mau cerita kalau saya merasa orangnya kira-kira tidak akan bisa 'meringankan' perasaan saya, dan saya bukan tipe orang yang cerita karena cuma mau cerita (kecuali cerita ke ayah saya). Dan saya mulai berpikir kalau sikap saya ini bisa membuat orang 'kabur'. Tapi, setelah itu saya jadi tahu, mana saja orang-orang yang cukup 'keras kepala' mau membantu saya, walaupun sudah saya 'cuekin' setengah mati. Walaupun terdengar sedikit 'not gentle', tapi ya sekarang ini sudah jadi filter yang OK buat saya. Dan biasanya ya orang-orangnya ya itu-itu lagi. Jadi sepertinya perjalanan saya mencari teman berbagi masih akan terus berlanjut (bukan soal jodoh atau apa ya hahaha)

Sekarang saya mau lari sedikit soal pilihan yang saya pilih satu tahun yang lalu. Saya tidak tahu apa yang orang pikirkan tentang saya, apa pendapat mereka tentang saya. Lebih tepatnya saya tidak peduli. Waktu masih di bangku sarjana, beberapa kali saya suka bertanya ke teman-teman 'saya ini orangnya bagaimana?'. Tapi, belakangan itu pertanyaan yang saya hindari. Kenapa? Karena walaupun sikap saya sama, bagaimana orang-orang merespon bisa jadi berbeda, alhasil pendapatnya jadi beda. Mengapa saya harus repot-repot tanya orang? Kenapa tidak tanya diri saya sendiri, atau mungkin orangtua yang jelas-jelas care pada saya. 

Soal pilihan saya sekarang pun, sebenarnya dari dulu saya sudah tahu kalau saya mau ke arah ini. Mungkin ada teman-teman yang juga tau. Dan saya sering sekali mendengar ucapan 'Oh, orangtua nya juga dosen, pantas saja.' atau 'Oh orangtuanya pintar, pantas anaknya pintar.' atau juga 'Kamu yakin itu pilihan kamu? Bukan karena kamu nyaman dengan sesuatu yang sudah biasa kamu lihat?'. Bukannya saya tidak suka labeling seperti ini, tapi disaat orang-orang berkata seperti ini, saya merasa mereka mulai berhenti melihat saya sebagai saya, dan lebih melihat bayang-bayang di belakang saya. Apapun itu bentuknya. Orangtua, pekerjaan orangtua, almamater, gelar, dan lain sebagainya. Mungkin bukan salah orang-orang itu, mungkin saya yang salah karena mungkin membawa-bawa bayangan itu dalam beberapa cerita saya. Dan mungkin kalau memang saya tidak peduli apa yang orang pikirkan tentang saya, harusnya saya tidak usah peduli dengan label-label mereka. Toh, labelnya bagus, kenapa saya harus tidak suka.

Tapi, lagi-lagi saya tidak merasa senang.

Maka dari itu, waktu saya memutuskan buat sekolah lagi pun dan mengambil master lagi, bukannya tidak sedikit yang komentar. Sikap otomatis saya biasanya cuma bilang iya, dan mengangguk sambil tersenyum. Bukan karena saya setuju, tapi saya malas. Malas repot-repot menjelaskan kepada orang yang sudah lebih dulu menilai pilihan saya tanpa bertanya lebih jauh. Tapi, toh setelah sampai sini saya bertemu banyak sekali orang yang punya keputusan sama dengan saya. Oh, saya punya teman seperjuangan. 

Belum lagi yang komentarnya terkait jodoh. Kalau soal yang ini, asli saya angkat tangan. Mungkin ini perbedaan perspektif. Perbedaan urgensi dan prioritas. Makanya orang-orang selalu bisa komentar. Jadi ya, bukan salah orang-orang juga. Kadang saya tidak mengerti, kenapa orang-orang begitu sibuk mengurusi urusan jodoh orang lain. Apalagi kalau perempuan, kemungkinan besar dibilangnya 'awas kalau sekolah tinggi-tinggi, nanti jodohnya seret'. Loh yang ngatur jodoh itu gelar apa Tuhan? Toh, nikah pun hukumnya sunnah. Kenapa saya belum pernah dengar 'Awas jangan sekolah terus, nanti lupa naik haji.'?

See where my point is?

Dimana-mana saya liat posting tentang jodoh, pernikahan, seminar pra nikah, bahkan saya dapat link 'perjodohan' via online bagi orang-orang yang mungkin percaya bahwa jodoh bisa ditemukan dengan cara apa pun asalkan ada niat dan usaha. Saya tahu, saya tidak berhak komentar untuk soal ikhtiar 'perjodohan' ini, walaupun buat saya ini sedikit 'absurd' tapi toh ada pasangan-pasangan yang melakukan hal ini dan berakhir bahagia selamanya sampai akhir hayat. Jadi toh, tidak masalah. Semua punya caranya masing-masing.

Tapi saat pernikahan begitu diagung-agungkan, terus dibicarakan, terus didiskusikan, bukannya nanti yang tadinya tidak kepikiran akhirnya jadi kepikiran? Salah siapa? Salah yang mikir? Apakah baik kalau yang sunnah tiba-tiba jadi wajib? Kenapa sunnah pernikahan begitu disukai dan dipuja-puji? Bagaimana dengan sunnah-sunnah yang lain seperti sholat tahajud dan sholat rawatib? Berapa banyak seminar tentang ini? Saya yakin tidak akan menandingi jumlah seminar pra-nikah.

Ya, pernikahan terlihat begitu menarik dan indah. Begitu mempesona untuk yang belum menjalaninya. Sama seperti dunia bekerja terlihat begitu indah untuk anak-anak kuliah sarjana. Kalau kata ibu saya menikah itu seperti pintu dimana yang di luar ingin masuk, yang di dalam ingin keluar (sejujurnya ini cuma candaan ibu saya). Tapi, mungkin ada poin yang masuk akal di situ.

Manusia selalu penasaran dan menggebu-gebu tentang sesuatu yang belum dijalaninya. Biasanya, di sebagian besar kasus, menggebu-gebunya cuma awal-awal saja. Bahasa gampangnya 'anget-anget tai ayam'. Walau mungkin saja ada yang terus menggebu-gebu sampai akhir hayat, mungkin kita harus belajar dari mereka. Tapi, rasanya tidak ada, mengingat emosi manusia yang naik turun (kalau tidak mau dibilang iman yang naik turun). Tidak jarang saya dengar ceplosan (mungkin dulu saya juga pernah mengucapkan) semacam 'Duh, pengen nikah, enak ada yang nemenin', 'Enak ada yang bisa diajak ngobrol', dan sebagainya dan seterusnya. Hellooo, nyari jodoh apa nyari boneka barbie? 

Alasan menikah pun jadi begitu simpel, kalau tidak mau dibilang 'kurang solid'. Tapi, rasa-rasanya seperti itulah yang terjadi. Saya tidak mau berburuk sangka, tapi saya yakin masih banyak yang menikah karena visi dan misi hidup yang sama.

Saya bukannya tidak menyukai sunnah rosul yang satu ini. Siapa sih yang ga pengen nikah? Enak kan ada yang nemenin? Tapi saat nikah begitu digembar gemborkan, tidakkah suatu saat dia akan kehilangan maknanya? Saat nikah begitu diagung-agungkan, tidakkah orang-orang akan kehilangan arah?

Jadi untuk siapa pun di luar sana, yang masih suka kepo dan nanya 'lo kapan nyusul' atau 'ga pengen nikah?' atau lebih ga asik lagi 'kok lo ga nikah?', coba keingintahuannya ditahan, karena ga semua orang keganjenan pengen ditanya soal begituan. Nikah itu bukan fase hidup yang wajib dialami semua orang. Sama seperti tidak semua orang lewat fase kekanak-kanakan, fase 'alay' atau bahkan ada yang tidak sampai ke fase dewasa. Dan nikah itu bukan cuma soal nasib, tapi pilihan. Kalau ada orang yang milih untuk tidak melaksanakan sunnah, tapi yang wajib udah dikerjakan, terus kita perlu mewajibkan yang sunnah untuk dia? 

Memang tidak dinyana, banyak sekali keunggulan pernikahan, dari segi individu ataupun keluarga. Menikah adalah sebuah cara membentuk dan mendidik generasi. Karena, memang mendidik anak sendiri kemungkinan besar akan lebih mudah daripada mendidik anak orang lain. Pada akhirnya, tujuan akhir menikah adalah pelestarian manusia. Bukan cuma dari segi jumlah tapi dari segi kualitas. Kalau kondisi suatu negara macam negara Jepang yang semakin menua dan jumlah orang tua lebih banyak dari anak kecil kan serem juga. Mau negaranya semaju apa pun, kalau tidak ada manusianya ya bangkrut juga.

Tapi mari berusaha untuk tidak memungkiri kalau menikah adalah sebuah anjuran untuk hidup lebih baik yang merupakan pilihan individu. Mari kita hormati pilihan orang lain tanpa perlu dipertanyakan apalagi dibicarakan di belakang. Toh. pada akhirnya mereka sendiri yang akan mempertanggungjawabkan pilihannya. Kalau nanti di masa tua, tidak ada yang mengurus mereka karena mereka tidak menikah dan tidak punya anak, mungkin mereka semua sudah siap dengan semua itu secara mental, fisik dan material. Jadi, tugas kita adalah menghormati dan siap sedia kalau ada yang membutuhkan bantuan. Tidakkah hidup akan terasa lebih damai tanpa perlu mengurusi urusan orang lain?


Komentar

Postingan Populer