Merantau - Curahan Hati

Hari ini di tengah sakit gigi dan badan yang agak meriang, saya tunda sedikit rencana eksperimen saya di lab. Saya duduk di lab dan menonton satu episode dari Mata Najwa 'Puisi untuk Negeri.'

Been away from my country for quite sometime

Satu tahun lebih lamanya saya tidak menjejakkan kaki di tanah air. Rindu? Pastinya. Biar negeri Sakura ini menawarkan berbagai kenyamanan, kemudahan dan keamanan hidup, tapi bayangan akan kampung halaman terus bercokol di kepala saya. Wong orang denger lagu Indonesia Pusaka aja saya bisa nangis kok. Dan satu episode anniversary ke-7 Mata Najwa tadi berhasil membuat saya menahan air mata di lab. Untungnya, di lab sedang tidak banyak orang (karena semua Sensei sedang konferensi ke kota lain), jadi ga akan ada yang nanya, 'Ara, Pijar, naitemasuka?'. 'Pijar, kamu nangis?'

Semalam, saya juga menonton satu episode Mata Najwa 'Lelakon Antasari Azhar'. Ada satu bagian di awal perbincangan, dimana Pak Antasari mengatakan bahwa selama ini beliau selalu menomorsatukan negara, dan keluarga di nomor dua. Namun, di saat beliau menghadapi kasus pembunuhan Nasrudin, keluargalah yang ada di sana, tegak berdiri di sisi beliau. Di saat itupun saya berpikir, memang apa pun yang akan terjadi pada kita, besar kemungkinan keluarga adalah yang paling pertama ada di sisi kita, baik atau buruknya kita. Keluarga akan membuka kedua tangannya untuk merangkul kita kembali.

Selama berada di Jepang, tentunya banyak hal baru yang saya rasakan dan tidak bisa saya temui di negeri saya sendiri. Ada hal yang buruk dan hal baik. Semuanya saya usahakan untuk diobservasi dengan kepala dingin. Perbedaan pasti ada, dan saya mulai menemukan kesenangan dalam mempelajari perbedaan-perbedaan itu. Bagaimana orang Jepang berpikir, berbicara, mengeluh bahkan marah. Di satu sisi, kadang saya merasa orang Jepang sedikit mirip dengan orang Jawa di satu sisi. Terutama, bagian kalau bicara biasanya jarang to the point. Gak seperti saya yang turunan orang Palembang-Madura ini yang apa yang ada di otak biasanya langsung dikeluarin lewat mulut. Tapi, mungkin saya sudah mulai ketularan orang Jawa juga. Secara hampir 10 tahun hidup saya juga saya habiskan di pulau Jawa. Teman-teman dekat saya banyak berasal dari suku Jawa. Dan kadang memang cara orang Jawa yang not-so-straight-to-the-point ini bisa dipakai dan lebih berguna di saat-saat tertentu. Tapi memang, adab 'Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung' harus kita ingat. Kalau di Jawa ya pakai cara orang Jawa. Kalau di Palembang pakai cara orang Jawa, bisa disiram cuka pempek kali gara-gara kalau ngomong muter-muter :D

Merantau

Kalau saya dengar kata merantau, yang pertama muncul di kepala saya 10 tahun lalu mungkin adalah bayangan orang-orang Minang yang naik kapal laut menuju tanah baru. Nggak tahu kenapa orang Minang, mungkin cerita Malin Kundang memberi kesan mendalam untuk saya. Dan mungkin karena saya bisa lihat restoran Padang dimana-mana (gak ada hubungannya mungkin, ya Jar). Anyway, kehidupan saya jauh di rumah sejak kelas 1 SMA hingga sekarang mungkin adalah satu sisi hidup yang saya tidak akan pernah terbiasa. Setiap kali saya akan pergi kembali setelah pulang ke rumah saya akan selalu berpikir, 'Kapan ya saya bisa pulang lagi?'

Saya akui, merantau memberi saya banyak pelajaran. Sewaktu SMA, saya hidup selama tiga tahun di tengah teman-teman yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, dengan kebudayaan, kebiasaan, suku dan agama yang berbeda. Ada orang Sumatera, Jawa, Kalimantan, Papua, Maluku. Ada yang Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Hindu. Ya, seperti miniatur Indonesia. Ada saatnya kita liburan bersama, belajar bersama, tegang bersama saat Ujian Nasional, juga ada kalanya kita berargumen dan mungkin bertengkar dengan sesama teman. Tapi, setelah lulus, toh semuanya baik-baik saja. Kita selalu bisa menertawakan pertengkaran dan kebodohan kita saat kita reuni. 

Saat kuliah pun kurang lebih mirip. Saat bekerja pun, mahasiswa saya berasal dari daerah yang berbeda-beda. Rekan kerja saya pun banyak yang berasal dari suku dan agama yang berbeda. Di Jepang pun, mahasiswa Indonesia di sini berasal dari daerah yang berbeda. Belum lagi fakta kalau saya dan teman-teman Indonesia adalah warga negara asing di Jepang ini. Minoritas, muslim pula. Cari makanan halal ya tentunya tidak semudah di Indonesia. Kadang saya merasa mungkin dulu waktu di Indonesia saya take everything for granted. Makanan apa saja saya pikir kalau di Indonesia mah pasti halal, padahal belum tentu. Saya jadi ingat kebaikan seorang penjual siomay yang pernah memberi tahu saya kalau siomaynya memakai bahan dari daging babi dan menunjukkan kios siomay lain yang aman untuk saya kunjungi. Ya, masih banyak orang baik di tanah air saya.

Mungkin dulu saya juga take for granted in the case of beribadah. Musholla di mana-mana ada, jadinya biasanya mengulur-ulur waktu sholat. 'Ah, nanti aja, musholla deket kok.' Tapi di sini, boro-boro musholla, bisa nemu tempat yang ga banyak orang lewat atau bisa sholat di bus sambil duduk aja udah bersyukur.

Oh, Indonesiaku...

Saat saya menonton Mata Najwa 'Puisi untuk Negeri' hari ini, banyak sekali tokoh-tokoh kebanggaan Indonesia yang dimunculkan, dari budayawan hingga para pejabat politik. Mereka adalah orang-orang yang saya yakin peduli pada Indonesia. Indonesia tidak seburuk itu, kita masih punya harapan. Masih banyak orang-orang yang mau bekerja keras untuk Indonesia. Masih banyak orang-orang yang percaya bahwa Indonesia akan menjadi lebih baik. Saat mendengar lagu Tanah Air Mata oleh Ebiet G Ade, saya terbayang dengan adik-adik di pedalaman yang sekolah saja harus menempuh perjalan jauh dan sulit. Sedangkan saya disini bisa belajar dengan begitu nyaman tanpa harus pusing. Mungkin orang-orang seperti saya ini sudah sangat kufur nikmat. 

Tidak dinyana, setiap kali saya membaca atau menonton berita tentang tanah air, perasaan saya campur aduk. Saya tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Saya hanya bisa baca dan dengar berita. Ya namanya berita, ada yang dipotong bahkan malah ditambahi. Dan hal-hal seperti ini bisa membuat orang-orang yang tinggal jauh dari tanah air seperti saya kadang-kadang kepikiran. Aliran informasi yang deras sekarang memang sudah tidak terbendung. Belum lagi jari-jari kita yang dengan mudahnya menekan tombol share untuk hal-hal yang belum pasti kebenarannya. Media sosial benar-benar memberi kesan kalau Indonesia dalam kondisi yang tidak kondusif. Tapi, saya berusaha berprasangka baik. Semua masih aman terkendali, mungkin kita manusia-manusia ini saja yang reaktif bahkan mengarah ke overreact dan overthinkDan kita masih sibuk berdebat untuk hal-hal yang sebenarnya tidak sebegitu pentingnya untuk didebatkan hanya untuk memuaskan ego kita? Alangkah ruginya kita, waktu kita habis percuma.

Untuk teman-teman yang mungkin sempat mampir ke tulisan curhat saya ini, mari kita sama-sama berhenti dan merenung sejenak. Atau mungkin kita perlu menutup media sosial kita sesekali lalu melihat fakta yang sebenarnya ada di sekitar kita. Kenapa kita harus bertengkar dan saling berdebat? Wong Rasulullah saja pernah bersabda:
" Aku jamin rumah di dasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah di tengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam keadaan bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaknya." (HR. Abu Daud) 
Banyak orang terkecoh dengan kebenaran dan ingin memberikan kesan kalau dia benar, tapi malah menimbulkan perselisihan bahkan permusuhan. Mungkin ada saatnya kita benar, tapi cukuplah Tuhan yang tahu. Apalah arti pengakuan manusia? 

Seandainya waktu yang kita habiskan untuk berdebat kita manfaatkan untuk hal lain, sudah berapa banyak amal yang bisa kita perbuat untuk sesama?

Saya hanya ingin menaruh sebuah puisi karya Joko Pinurbo yang saya dengar di episode yang sama dari Mata Najwa yang dibacakan oleh Slamet Rahardjo di akhir post kali ini. Semoga kita bukan termasuk dari kaum pembenci yang kurang mencintai dirinya sendiri. 

Kenangan
Karya Joko Pinurbo
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang cukurmu. Ia memangkas
rambutmu dengan sangat hati-hati
agar gunting cukurnya tidak melukai keluguanmu.
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang baksomu. Ia membuat
baksomu dengan sepenuh hati seakan-akan kau
mau menikmati jamuan terakhirmu.
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang fotomu. Ia memotretmu
dengan sangat cermat dan teliti agar mendapatkan
gambar terbaik tentang bukan-dirimu.
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang bencimu. Ia membencimu
dengan lebih untuk menunjukkan
bahwa ia mencintai dirinya sendiri dengan kurang.
(Jokpin, 2016)

1 Desember 2016
Osaka, di awal musim dingin, di tengah banyak deadline dan ujian yang menanti
Semoga Tuhan selalu ada di setiap langkah masyarakat Indonesia

Komentar

Postingan Populer