That day, when I smiled...

Aku menutup buku Bahasa Jepangku. Sudah sekitar tiga jam aku memelototi huruf-huruf kanji ini. Baiklah, cukup. Aku butuh sedikit hiburan.

Kubuka youtube di tab browserku, dan sebuah video yang seringkali kuputar di pagi hari muncul di deretan video paling atas. Kalau bahasa anak jaman sekarang...lagu galau.

Kuputar video itu, dan alunan petikan gitar terdengar melalui earphoneku. Melodi yang sedih dan lirik yang penuh arti. Kulirik tanggal hari ini yang ada di pojok kanan bawah notebook ku. 

Ah, pantas saja hari ini aku merasa ada yang berbeda.

Rupanya sudah lewat tiga bulan sejak hari itu. 

Sudah tiga bulan sejak terakhir kali sejak kami berjalan beriringan hari itu. Dirinya menuntun sepeda dengan perlahan, menanggapi celotehanku seperti biasa. Sesekali tertawa. Walaupun ada sesuatu yang tidak biasa terasa di hari itu, tetapi aku memutuskan untuk mengabaikannya. Kupikir mungkin itu hanya aku yang kelelahan karena sudah berapa hari kurang tidur berkat tugas akhir yang akhirnya selesai kupresentasikan hari itu. 

Sudah tiga bulan berlalu sejak rasa aneh yang kurasakan malam itu ternyata menampakkan wujudnya. Di saat kukira malam itu aku bisa tertidur dengan tenang...ternyata aku salah. Sebuah kalimat yang tidak pernah kubayangkan, terdengar hari itu.

"Kukira hari itu...aku bisa belajar menyukaimu. Tetapi, aku ingin kita kembali menjadi teman."

Oh yeah, nice! Selamat, Sayang. Hari ini adalah April Fool.

Tapi, tidak. Hari itu adalah pertengahan musim panas. Bahkan di malam hari itu, udara tidak terasa bergerak. Pengap. Seperti isi kepalaku.

Tetapi, karena aku adalah aku. Karena aku adalah aku yang sulit menangis. Karena aku adalah aku yang tidak bisa marah atau memaki-maki. Karena aku adalah aku yang terbiasa tersenyum dan tertawa. Oh, mungkin harusnya aku tidak mengambil studi PhD. Harusnya aku jadi aktris saja, mungkin aku bisa memenangkan Piala Oscar.

Aku tersenyum. Aku tersenyum mendengarnya mengucapkan 'Maaf'. Oh, tolong jangan ucapkan maaf. Itu hanya membuatku sadar kalau semua ini benar terjadi. Dan seperti adegan ini sudah pernah dimainkan dengan baik sebelumnya di kepalaku, yang keluar dari mulutku bukanlah kata 'kenapa?' tetapi 'tidak apa-apa.'

Tiga bulan setelah itu, setelah aku meyakinkan diri bahwa apa yang ada di antara kami sekarang adalah yang terbaik...ternyata aku baik-baik saja. Setelah itu kami masih bisa tertawa, masih bisa menikmati waktu masing-masing, masih menjadi diri kami sendiri. 

Aku masih disini, masih berjuang akan jalan hidup yang kupilih. Sebuah kisah yang tidak bisa berlanjut tidak lantas membuatku menghentikan kisahku yang lain. Dan aku bangga pada diriku yang bisa bangkit setelah jatuh. Sekarang, yang butuh kupelajari adalah agar tidak lagi jatuh di tempat yang sama. Mungkin aku harus mencari jalan lain? Atau membiarkan diriku ditemukan di jalur yang baru?

"Have you finished?" tanya seorang temanku dengan backpack yang sudah disampirkannya di bahu.

"Ah, yeah. I just wrote something in my blog," jawabku sambil menutup lid notebook ku.

"Ooh, such a productive hobby."

"Nah, I just need a way to feel relief."

Di perjalanan pulangku kali itu, aku bersyukur dia memutuskan untuk memberitahuku hal yang pahit. Aku berterimakasih aku dibiarkan Tuhan menangis. Aku bahagia aku diberi kesempatan belajar bahwa ada orang yang lebih bisa kau kenal justru saat ia tidak lagi menjadi kekasih hati.

Ya, ini cukup. Biarlah begini. 

Komentar

Postingan Populer