Mendaki gunung

Sejak tinggal di Jepang, saya mulai menikmati mendaki gunung, lewati lembah (kayak lagu ninja Hattori). Sewaktu di Indonesia, hanya pernah sekali mendaki di Papandayan. Itu pun pulang dengan perasaan, 'I don't think I would want to hike anymore', alias kapok. 

Tahun pertama di Jepang, saya bersama empat teman satu lab, mendaki puncak tertinggi Jepang, gunung Fuji. Tanpa bantuan trekking poles, saya berhasil mengorbankan 2 kuku jempol kaki saya sampai lepas. Tetapi, sampai detik ini pengalaman itu masih tidak terlupakan. Sejak mendaki Fuji, saya akhirnya memahami kenikmatan mendaki. Setelah Fuji 3776 mdpl, menyusul 2 pendakian lain di atas 2000 mdpl. Sisanya gunung-gunung kecil yang bisa didaki satu hari, mungkin hampir sepuluh. 

Perjalanan mendaki atau menuruni gunung adalah saat terbaik bagi saya untuk berpikir dan kontemplasi. Gunung seperti punya gelombangnya sendiri yang membuat saya nyaman untuk berpikir apa pun sambil menjauhi hiruk pikuk rutinitas dan kembali ke alam. Ada beberapa hal yang saya sadari selama mendaki.

1. Hiking is a miniature of life itself
Berjalan, tersandung, terpeleset, terjatuh, tersesat, menemukan jalur yang benar, membaca peta (no you can't use GPS)... semuanya kalau dipikir-pikir memang seperti hidup itu sendiri. Tidak ada manual. Kita belajar dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain lalu fleksibel dengan maunya alam. 

2. Get ready to go up...
Hidup harus siap naik, yang berarti siap lelah, siap putus asa sampai di titik ingin menyerah. Tapi itu semua manusiawi. Yang diperlukan adalah tekad untuk terus maju walau harus merangkak. Focus on the goal. That's it. Setibanya di atas, nikmati pemandangan dan hasil jerih payah secukupnya.

3. ...and get ready to go down
Selanjutnya harus siap turun, siap bergantian dengan antrian pendaki lain di belakang. Because life is not only about you. Selalu miliki kebesaran hati untuk turun. Saat turun pun tidak mudah. Batu-batu besar atau jalan yang licin menanti. Perlu ketangkasan dan insting dimana mesti berpijak. Saat sudah sampai bawah, saya akan menoleh sebentar saja ke puncak yang sudah dilewati and then reflect on myself, 'I have been there, and that's enough.' Perasaan ini selalu jadi motivasi saya untuk kembali mendaki. 

4. Have a team you trust 
Kecuali kita solo hiker yang sudah andal, hiking selalu lebih aman jika pergi bersama tim. Pacing, menyesuaikan diri dengan tim. Saat kita berada di depan, tuntun tim ke jalan yang aman untuk dilewati. Jangan lupa menoleh ke belakang, pastikan semua anggota on the track. Jika kita di tengah, kita bisa menjadi penyambung informasi, berbagi semangat. Jika kita di belakang, trust and follow the lead, jaga formasi dari belakang.

5. Safety is number one
Pemandangan indah dari atas puncak gunung memang menggoda, tapi what's the point kalau kita mengorbankan keselamatan diri dan tim? Pahami batasan diri dan tim. Jangan ngoyo, yang penting selamat. Begitu pula dengan hidup. Tidak ada mimpi yang sangat berarti jika harus mengorbankan keselamatan diri dan orang-orang yang berharga dalam hidup. 

6. Prepare just enough
Alam punya kehendak. Selalu sedia payung sebelum hujan. Bawa persiapan yang cukup. Terlalu banyak, beban yang terlalu banyak membuat kita cepat lelah. Terlalu sedikit, boleh jadi kita kelaparan. Learn what you need and get ready. Sisanya, tawakkal.

Saya tidak tahu sampai kapan saya akan mendaki. Tetapi, rasanya selama masih ada rezeki kesehatan, waktu, dan uang (tentunya), masih ingin mendaki gunung-gunung yang belum pernah saya datangi. Insya Allah.

Komentar

Postingan Populer