Belajar dari Kegagalan

Tidak sedikit dari kita yang pernah mengalami kegagalan. Walaupun terkadang definisi kegagalan itu berbeda untuk setiap orangnya. Tetapi, selama ini saya mengartikan kegagalan sebagai suatu kondisi dimana saya tidak berhasil mencapai sesuatu yang saya inginkan. Dan itu sudah cukup sering saya alami. Biasanya, menangis adalah hal paling mudah untuk melampiaskan rasa kesal dan kecewa karena kegagalan.
 
Tetapi saya belajar banyak beberapa tahun terakhir. Bahwa kegagalan adalah saat saya gagal, lalu saya tidak kembali mencoba. Itu adalah kegagalan sesungguhnya. Yah, walaupun 'mencoba kembali' tidak selamanya bisa saya terapkan di semua hal. Terkadang hal-hal bodoh seperti 'pride' atau pun kebanggaan diri menghalangi saya dari keinginan mencoba kembali.
 
Mungkin kegagalan pertama yang saya ingat adalah saat saya duduk di bangku kelas 1 SMA. Sewaktu itu saya tidak lulus tahap 'Dinamika Grup' dari sebuah seleksi untuk mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika. Kebetulan waktu itu, saya bersekolah dan di Cikarang, namun saya mengikuti tes di kota Malang karena orangtua saya menetap di Malang. Saya harus bolak balik Jakarta-Malang untuk mengikuti tes sebanyak kira-kira tiga kali sampai akhirnya saya tidak lulus di tahap yang ketiga. Tentu saja, saya sangat kecewa. Dimana waktu itu tiket Jakarta-Malang tidaklah murah, saya merasa menyesal karena telah membuang-buang uang orangtua dengan kegagalan. Saya menangis beberapa kali dan tidak lagi ingin mengikuti hal yang serupa. Saya berpikir 'seandainya saja saya tidak pernah ikut, maka saya tidak akan merasa kecewa seperti ini'. Namun, setelah saya cukup dewasa, saya berpikir, bahwa hari itu saya diperkenalkan dengan kata 'kegagalan' oleh Tuhan. Perkenalan yang sudah sepantasnya saya syukuri, karena di masa depan saya pasti akan bertemu dengan kegagalan-kegagalan lain. Tuhan membiasakan saya dengan berlapang hati menerima kegagalan, lalu kembali mencoba walaupun telah gagal.
 


 One of my old desktop background of old quotes
Ayah saya pernah berkata bahwa saya tidak lah sepintar adik-adik saya. Jika adik-adik saya butuh dijelaskan satu kali untuk memahami sesuatu, saya butuh dijelaskan tiga sampai lima kali. Jika adik-adik saya hanya perlu membaca sekali untuk memahami isi satu buku, saya butuh membacanya hingga tujuh kali. Saya sangat memahami itu sejak saya duduk di bangku SMA. Namun, ayah berkata, bahwa saya hanya butuh 5 kali lebih rajin dibanding adik-adik saya, sehingga pada akhirnya pemahaman saya dan adik-adik saya tetap sama. Awalnya, saya sempat berpikir, kenapa Tuhan begitu tidak adil memberikan kadar kemampuan yang berbeda untuk setiap orang. Namun, akhirnya saya paham bahwa Tuhan ingin melihat sejauh apa kita berusaha, dan sejauh apa kita berusaha mengalahkan keterbatasan kita. Jika hidup ini ibarat sebuah game RPG, maka level offense dan luck saya tidak terlalu tinggi. Saya hanya butuh meningkatkan level perseverance saya :)
 
"Mungkin kau akan berhasil di percobaan yang ke 101. Jadi, jika kau berhenti di percobaan yang ke 99, maka kau tidak akan berhasil walaupun kau hanya butuh 2 kali lagi untuk berhasil."
"Darimana aku bisa tahu di langkah ke berapa aku akan berhasil?"
"Kau tidak akan pernah tahu, maka dari itu, kau tidak boleh berhenti mencoba."

Kira-kira itu yang berkali-kali kudengar dari ayah dan ibuku saat aku gagal mencapai sesuatu. Lalu, saya belajar untuk tidak menggantungkan diri pada bakat dan keberuntungan. Usaha, doa, dan ikhlas, rasanya itu yang paling tepat untuk diri saya sekarang ini.
 
Mungkin saya menulis hal seperti ini bukanlah untuk orang-orang yang membaca tulisan ini. Lebih tepatnya, saya menulis ini untuk diri saya sendiri. Saya tidak menemukan tulisan yang ingin saya baca, sehingga saya berakhir menulis sesuatu yang akan saya baca. Saya hanya berharap tulisan ini dapat membantu orang-orang yang merasakan hal yang sama dengan saya.


"Karena kegagalan sebenarnya terletak pada tidak lagi mencoba"

 
Saya pernah membaca sebuah cerita yang sangat menginspirasi saya. Kebetulan sekarang saya sedang mencari-cari beasiswa untuk studi lebih lanjut. Saya menemukan tulisan tentang seseorang yang lulus S1 dengan IPK di bawah tiga dan nilai TOEFL di bawah 500, namun dia berhasil mendapatkan beasiswa studi lanjut ke Amerika Serikat ... setelah mencoba 16 kali dan berhasil di percobaan ke-16. Hal yang pertama saya pikirkan saat itu adalah, seandainya dia berhenti di percobaan ke-14 atau ke-15, maka ia tidak akan pernah merasakan seperti apa keberhasilan itu. Ia tidak berhenti mencoba, tidak menyerah pada keterbatasannya dalam hal nilai dan Bahasa Inggris, tidak sayang uang untuk belajar Bahasa Inggris dan GRE, dan tidak menyerah walaupun harus terbang jauh-jauh untuk menemui dosen pembimbingnya di kota lain hanya untuk meminta tanda tangan di sebuah surat rekomendasi.
 
Jika saya berhenti di percobaan kedua atau ketiga, sungguh saya adalah seorang yan manja dan payah.
 
Saya hanya butuh tetap menjadi diri saya yang keras kepala seperti biasa.

"Apakah ketekunan dan pantang menyerah yang sama juga berlaku dalam hal yang lain?"


Sebut saja masalah perasaan.
Entahlah, saya tidak tahu. Saya belum bisa membuktikan yang satu ini. Mungkin, karena saya kurang banyak mencoba. Lebih tepatnya, saat ini saya tidak ingin lagi mencoba. Bagaimanapun saya seorang wanita dan saya mempunyai 'keangkuhan pribadi' untuk masalah yang satu ini. Saya tidak perlu menyerah. Saya hanya perlu tahu bagaimana caranya berhenti, lalu semuanya akan baik-baik saja. Ya, mungkin begitu ...

Komentar

Postingan Populer