Ahok oh Ahok...

Selepas santap malam bersama teman serumah saya yang lucu, saya mengayuh kembali sepeda merah saya ke kampus. Udara malam sebenarnya nggak dingin-dingin amat, tapi sampai di kampus tetap saja udara dingin serasa lewat di kerongkongan dan membuat tak nyaman. Niat awalnya balik ke kampus cuma untuk cek kondisi mikroalga yang baru saya inokulasi. Maklum, selama di Indonesia saya selalu kultur alga dengan kondisi 'kurang' higienis. Jadi, saat diajari cara kultivasi mikroalga yang bersih mau gak mau saya ya deg-degan juga, takut kebiasaan non-steril nya terbawa hahaha...Tetapi saya tertahan di lab saat iseng cek salah satu situs web berita Indonesia dan sederet berita populer yang ditunjukkan membahas satu fenomena hangat

Ahok

Ya, Ahok.


Pak Ahok kok ganteng banget siih :')

Saya sulit menjelaskannya, tapi di kampung halaman saya di Palembang, warga keturunan etnis Tionghoa selalu punya nama panggilan yang seperti ini. Ya, Ahok lah, Men Tjong lah, yang sebenarnya gak terlalu nyambung sama nama aslinya. Tapi, sebenarnya bukan warga etnis Tionghoa yang punya nama keren seperti ini. Warga lain seperti warga keturunan Arab, India, dan pribumi pun punya panggilannya masing-masing. Kalau wong Palembang biasanya pakai Cek A, Mang B, dan sebagainya.

Tapi, di sini saya bukan mau membahas soal nama. Itu untuk pengantar saja biar santai. Kita kembali ke soal Ahok. Kalau boleh saya bilang, Ahok ini 'fenomena'. Kalau kita coba searching 'fenomena' di KBBI, maka yang akan keluar adalah 

1. hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena alam); 2. sesuatu yang luar biasa; keajaiban; 3. fakta; kenyataan.

Ahok ini masuk yang mana? Mungkin masuk ketiga-tiganya. Tidak jauh berbeda dengan Jokowi lima tahunan yang lalu, atau ditutupnya Doli dan Kalijodo, juga tsunami di Aceh. Fakta, kenyataan, sesuatu yang luar biasa. Kalau untuk saya, fenomena juga bisa berarti pertama kalinya Detective Conan the Movie diputar di Indonesia 2 tahun yang lalu. Ya, sesederhana itu...

Fenomena Ahok ini sebenarnya sudah lama. Cuma memang jadi ramai lagi, karena doi nyalon gubernur setelah menjadi Plt Gubernur DKI abis ditinggal sohibnya, Jokowi, ke Istana Negara. Saya bukan orang Jakarta, dan saya berkali-kali berdoa dalam hati semoga gak mesti tinggal di Jakarta. Tapi, memang saya akui keberadaan media sekarang membantu mentenarkan sekaligus juga menjelekkan nama Ahok. 

Saya ingat waktu saya masih duduk di Kukusan Kutek jaman jadi mahasiswa mager, yang menemani saya adalah berita-berita saat Jokowi dan Ahok terpilih dan bagaimana kerja mereka terlihat begitu nyata, Ok, terserah kalau ada yang bilang saya korban media, tapi begitulah yang saya rasakan waktu itu. Saya akui Pak Ahok ini emang mulutnya rada-rada. Bahkan buat ukuran orang Sumatera yang udah keras pun, cara ngomongnya itu super keras dan nyelekit sampai kadang-kadang kata 'Tai' pun keluar. Mungkin beliau khilaf menghadapi tikus-tikus penggerogot duit rakyat. Tapi buat mereka, rasanya kata 'tai' pun menurut saya masih kurang jahat (hahaha, lo emang jahat Jar).

Tetapi, terlepas dari kelebihan dan kekurangan sang fenomena satu ini, ada satu hal yang membuat saya sedikit 'gemes' apalagi kalau habis scrolling di timeline malem-malem macam sekarang.

Sejak kapan kita begitu 'peduli' dengan pilihan orang? Dan sejak kapan kita memberikan pembenaran-pembenaran pada pilihan kita?

Saya muslim makanya saya pilih Mas Ganteng
Saya hindu makanya saya tak pilih Mas Langsing
Saya kristen, saya pilih Nona Kribo
Saya turunan Arab, saya pilih Wanita Berkalung Sorban (ini mah judul film Jar)
Saya orang Jawa, saya pilih Mas Hitam Manis

Atau yang lebih bikin saya geleng-geleng bagaikan peliharaan senpai saya di lab yang muter-muter salto gara-gara gen nya ada yang di knock-out (halah Jar), pas ada tulisan-tulisan

Berdasarkan ayat sekian dalam kitab X, haram bagi saya milih si Abang Sarungan

Katanya minta toleransi antar umat beragama, jadi tolong hormati pilihan saya berdasarkan keyakinan saya.

atau

Kalau saya pilih orang kafir jadi pemimpin dan saya masuk neraka gara-gara itu, toh saya gak ajak sampeyan ikutan masuk neraka.

Mungkin sekarang Pak Karno, Sultan Hamengkubuwono IX dan Gus Dur sedang menangis di alam sana melihat tingkah bangsanya.

Waktu saya masih kecil, dibesarkan di kampung kecil pinggiran sungai musi...di saat anak-anak masih main kejar-kejaran dengan ayam, dan masak-masakan dengan tanah dan daun, saya paham kalau pemilu sudah datang. Tapi saya tidak pernah dengar orang saling bertanya 'Mangcek, pilih siapo? Aku nak milih Uwak Juragan Pempek soalnyo dio calon hebat.'

Bahkan di rumah, keluarga stay calm, mau pilih siapa ya pilihan masing-masing...urusan hati masing-masing. Ada yang pilih partai kambing, partai matahari, ya kagak urus elu pilih siape.

Berhubung saya bukan warga Jakarta dan gak bisa milih gubernur juga (malah kadang saya suka mikir ini Palembang gimana ya walikotanya masih di KPK hahahaha), saya hanya ingin mengajak teman-teman yang punya tanggung jawab memilih gubernur Jakarta yang mungkin lagi kebetulan main ke blog saya ini:

Mau pilih siapa, monggo, terserah...hak Anda dan hak itu dilindungi oleh negara. But, please...ga usah pamer alasan milih si X dengan bawa-bawa ayat, bawa-bawa agama, bawa-bawa etnis, atau bawa-bawa alasan tidak relevan lainnya. Kalau ada yang bilang 'Ya, agama kan tuntunan hidup, Jar. Wajar dong kalau gue memilih sesuai agama gue.' Ya, gak apa, alasan Anda itu urusan Anda. Tidak perlu dishare, tidak perlu menebar kebencian, tidak perlu merusak silaturahmi dengan orang lain. Rugi banget. Yang jadi gubernur ntar siapa, hidup kita juga ga berubah-ubah banget, makan tetep susah. Yang ada hilang temen hilang keluarga, menebar aura negatif dimana-mana.

Gitu aja repot Jar, hapus aja FB lo. Tapi, saya masih butuh FB buat cari banyak hal-hal lucu hahaha. 


Komentar

Postingan Populer