You Make Me Want to be a Man - Memaknai Hari Kartini





Judul post kali ini saya ambil dari judul sebuah lagu yang menemani masa-masa saya berada di asrama saat SMA. You Make Me Want to be a Man yang dipopulerkan oleh penyanyi Jepang, Utada Hikaru, yang beken di Indonesia dengan single nya 'First Love'. Saya ingat pertama kali mendengarkan lagu First Love ini saat masih duduk di bangku SD, diputar di siaran radio, dan biasanya saya dengarkan di malam hari saat almarhum nenek sudah terlelap di kamar kami.


Utada wants to be a man!

Utada Hikaru
Setelah itu, saya tidak banyak tahu lagu Utada Hikaru sampai keluarga saya hijrah ke kota Malang. Saat itu pertama kalinya saya tahu yang namanya toko Disc Tarra (mana ada toko ini di Palembang zaman awal 2000-an hahaha), dan itu pula lah pertama kalinya saya punya kaset tape Utada Hikaru. Kaset tape, bukan CD. Duh, jadi kangen hahaha. CD-nya ada dijual sih, tapi muahal sekitar 50ribu rupiah...kaset tape nya saja waktu itu sekitar 15ribu atau 20ribu rupiah. Ya, kaset itulah yang menemani masa-masa persiapan Ujian Nasional SMP saya sampai tiba di Cikarang untuk hidup di asrama.


Saat duduk di bangku SMA, saya mulai mengumpulkan beberapa album kaset tape Utada Hikaru. Lalu, ada satu album yang berisi lagu-lagu Utada Hikaru dalam Bahasa Inggris, album Exodus. Waktu itu saya pikir, 'Wah keren, penyanyi Jepang bisa punya album dalam Bahasa Inggris'. Sampai sekarang, saya pikir itu tetap keren. Hahaha. Berhubung waktu itu masih SMA, kosa kata masih terbatas, dan pemahaman makna lirik Bahasa Inggris ala-ala Utada itu pun sulit dipahami untuk saya (bahkan sampai sekarang, walaupun pelafalan Bahasa Inggris doi bagus banget), jadi ya waktu itu saya hanya mendengar sebatas mendengar dan bernyayi. Mana peduli makna lagunya apa LOL (fans yang buruk).

Baru lah hari ini, entah bagaimana caranya, browsing Youtube saya mulai dari lagu-lagu Kuraki Mai berakhir ke lagu-lagu Utada Hikaru, salah satunya yang berjudul 'You Make Me Want to be a Man'. Waktu SMA dulu, saya kira,'Oh, sepertinya maksud lagunya ini adalah ingin menjadi laki-laki, soalnya laki-laki itu kuat, hebat, makanya si Utada pengen jadi cowok.'

Sesimpel itu. Pikiran anak SMA yang sangat polos. Padahal jelas-jelas waktu itu dulu ada selembar kertas kewer-kewer yang isinya lirik lagu di kotak kaset tape nya. Tapi, ya walau saya bisa baca, tapi saya tidak paham maknanya.

Dan saat saya mendengar lirik nya lagi hari ini 

I really wanna tell you something
This is just the way I am
I really wanna tell you something, but I can't
You make me want to be a man
Arguments that have no meaning
This is just the way I am
You really wanna tell me something, but you can't
You make me want to be a man

At that time I thought, 'This is so interesting!'

Ingin menyampaikan sesuatu, sebegitunya ingin didengarkan sampai si Utada ini ingin menjadi seorang pria. Kenapa? Banyak alasan. Apa mungkin karena dia merasa lelaki akan lebih didengarkan dibanding wanita? Hmmm, bisa jadi...

Just another classic stereotyping

Jika kita bilang emansipasi wanita yang kerap disebut-sebut apalagi di Hari Kartini begini, apa yang pertama kali muncul di otak? Saya yakin banyak yang akan menjawab, kebebasan untuk melakukan sesuatu dan mendapat kesempatan yang sama seperti dengan pria. Di Indonesia sekarang ini, terutama di kota-kota besar saya yakin sebagian besar wanita sudah mendapat kesempatan yang sama dengan pria. Wanita sudah dapat bersekolah sampai S3, menjadi profesor, memiliki karir yang sama gemilangnya dengan pria, bahkan menjadi presiden. Bahkan Amerika Serikat yang katanya negara super power pun belum pernah memiliki seorang presiden wanita.

Selama setengah tahun di negeri Sakura ini pun, satu hal yang saya sadari dari pengamatan saya. Pria masih lebih dominan di negeri ini, jauh mah kalau dibandingkan dengan Indonesia. Contoh kecil saja, satu semester lalu yang saya habiskan dengan mengambil kelas, hanya ada satu dosen wanita. Itu pun bukan full professor. Di upacara penerimaan mahasiswa baru, dari sederetan wakil rektor, manajer dan dekan Osaka University saya hanya melihat satu wanita. Saya pikir, wow! Untuk satu hal ini saya bersyukur saya lahir di Indonesia.

Saya yakin, negeri semaju Jepang ini tidak akan menghalang-halangi wanita untuk masuk ke perusahaan besar atau universitas terkenal. Tapi, saya lebih tertarik dengan satu hal yang mungkin memunculkan fenomena ini. Mindset.

Wanita boleh jadi diberi kepercayaan memegang satu posisi penting, ataupun memiliki karir yang baik. Tetapi, tiba saat mereka berhadapan dengan orang lain berposisi sama pentingnya namun bergender pria, tidak jarang saya temui pandangan dan suara yang terkesan meremehkan. To some extent, women are not listened well

'Ah, cewek ini, tau apa sih?' 
'Udah, Bu. Kita kerjain ini saja. Ibu tinggal nurut aja, biar gak repot.'

Wanita mungkin sudah tidak lagi dilarang bersekolah, tidak lagi dilarang bekerja di luar rumah. Tetapi apakah masih ada orang yang tidak mendengarkan perkataan seseorang hanya karena dia wanita? Mungkin tidak banyak, tapi sepertinya masih ada.

Contoh lain dalam pembagian tugas. Biasanya nih, biasanya ya (ngomongnya pelan-pelan), cewe-cewe akan dikasih pekerjaan yang cewe banget. Ya tukang tulis lah (sekretaris), tukang nyimpen duit lah (bendahara), seksi konsumsi lah (tukang masak atau nentuin resep). Seolah-olah pekerjaan itu pun punya gendernya sendiri. Alasannya? Karena katanya cewek lebih rapi dan lebih teliti. Oooo, gitu....

Bahkan pembagian kerja di rumah pun tidak jarang memakai formula gender. Masak urusan wanita, nyuci mobil urusan pria. Makanya waktu saya dengar Sensei saya yang paling muda ikut mengurus anaknya yang masih bayi, mengganti popok dan memandikan bayinya, saya salut juga. Karena sepertinya di luar sana masih banyak pria yang berteriak kencang di rumah 'Mah, kaos kakiku dimana?'. Mbok ya dicari dulu gitu Pak, baru teriak-teriak. Hahaha.

Merevolusi Semangat Kartini

Sebelum masuk bagian kalimat-kalimat bagus, saya mau menyampaikan kegundahan saya tentang komentar-komentar sinis yang suka saya lihat tentang Kartini. 

Image result for kartini
R.A. Kartini
'Kenapa ada hari Kartini? Kartini kan cuma nulis surat saja dirayakan hari kelahirannya. Bagaimana dengan Cut Nyak Dien, Christina Martha Tiahahu yang lebih konkret? Yang jelas-jelas angkat senjata untuk melawan penjajah?'

Terlepas apakah surat-surat Kartini adalah hasil rekayasa, dan instead of fighting to get Indonesia become an independent country she only wrote dramatic letters, yang diwariskan Kartini bukan cuma surat, tapi semangat besar dan harapan yang efeknya bisa kita lihat jelas saat ini. Kondisi dirinya sendiri yang dibatasi untuk mengenyam pendidikan yang hanya bisa didapat pria di zaman itu, membuat Kartini berharap dan melanjutkan harapannya. Harapannya mengalir dalam surat-suratnya dan tertangkap oleh orang-orang yang berharap sama. Membuat orang yang mungkin tadinya berharap sama namun belum tergerak menjadi berani bergerak. Harapan Kartini berwujud menjadi sekolah-sekolah, bahkan lebih dari itu... Sebuah pandangan baru bahwa yang punya jenis kelamin adalah manusianya, bukan pendidikan atau pekerjaan.

Ya, Kartini beruntung karena dia diizinkan bersekolah walau hanya setingkat SD. Kemampuannya berbahasa Belanda membuat dia punya teman yang mendengarkannya lewat surat. Ia juga beruntung karena memiliki suami yang mendengarkannya. 

Karena harapannya terdengar lah, kita bisa menyanyikan lagu 'Ibu kita Kartini' :)

By the way, walaupun judulnya emansipasi, para wanita kalau nge-date gak perlu dibayarin dan belanjaan gak perlu dibawain kok (biar yang pria gak protes). Tapi ya, kalau ditawarin sih kita gak nolak :D



Komentar

Postingan Populer