Nikmat = Musibah = Ujian

Kita sering kali mengaitkan hal buruk dan musibah sebagai ujian. Tapi, terkadang hal yang baik juga bisa berakhir dengan buruk dan menjadi ujian. Hal inilah yang membuat saya belakangan sering berpikir saat mendapatkan sesuatu yang baik, "Apakah ini nikmat atau ujian?"

Respon awal
Hal paling mendasar dari manusia adalah mengucapkan terima kasih saat mendapat nikmat dan minta ampun saat mendapat musibah. Kebiasaan ini merupakan kebiasaan yang awam ditemui saat saya berada di Indonesia. Di Jepang (mungkin karena sebagian besar belum percaya kepada Tuhan), jarang sekali menyalahkan hal ghoib jika mendapat sesuatu, baik musibah atau nikmat. Saat mendapat nikmat, tentu mereka akan senang. Dan saat mendapat musibah, tentunya sedih. Tapi ada satu kata yang sangat saya sukai dari orang Jepang saat menghadapi kesulitan. 'Shoganai naa...', yang kurang lebih artinya 'Ya, mau diapakan lagi?'

Tentang mindset
Belakangan saya berpikir, bagaimana jika kita bisa mengubah cara pikir terhadap musibah dan nikmat. Jika biasanya respon pertama kita adalah bersyukur saat mendapat nikmat, mungkin kita juga bisa mulai menerapkan bersyukur saat mendapat musibah. Mungkin untuk beberapa orang yang ikhlas, hal ini sudah menjadi hal yang biasa dan mudah. Orang lemah iman macam saya mah, masih super susah menerapkan hal satu ini. Dapet musibah gitu, boro-boro mau bersyukur, yang ada bawaannya pengen ngeluh mulu. Tapi, mensyukuri musibah mungkin bisa dibawa ke sudut pandang lain. Mensyukuri bahwa Tuhan masih cukup peduli dengan kita dan menguji kita. Atau mungkin Dia sedang menyiapkan kita naik level. Ada yang suka main RPG? Gimana caranya mau naik level? Ya, keliling dungeon, lawan monster, lawan bos monster. Kalau ngedem di penginapan dan kota, mah gak akan pernah naik level.

Lawan Bos dulu biar naik level
Source: invision game community

Naik level
Begitu pula sebaliknya saat kita mendapat nikmat. Respon spontan kita biasanya adalah senang, bersyukur. Lebih keren lagi kalau dilanjutkan dengan berbagi. Saya sendiri, kalau mendapat hal yang baik ya saya akan sangat bahagia, puas. Tapi, bagaimana jika kita terapkan mindset 'Bagaimana kalau ini ujian?' saat mendapat nikmat dan memohon ampun? Kalau untuk orang Muslim, gampangnya ya ngucap istighfar. Karena mungkin saja, saat mendapat kebahagiaan ada sebersit kesombongan di hati, merasa mampu. Di saat seperti ini nikmat tersebut menjadi ujian bukan? Ujian untuk tidak sombong. Astaghfirullah. Apakah kita mau berbagai nikmat yang kita dapat? Sudah jadi ujian nomor dua. Apakah kita mau 'hanya' bahagia, atau menchallenge diri kita lebih jauh? Sudah jadi ujian nomor tiga. Kalau mau diibaratkan dengan main game RPG lagi, saat dapat uang banyak setelah mengalahkan bos monster, uangnya disimpan saja, atau dibelikan armor dan pedang baru supaya bisa lawan bos yang levelnya lebih tinggi?



Matematikanya...
Berdasarkan andai-andai saya di atas, mau tidak mau otak saya jadi ingin membuat sebuah persamaan. 
Jika, 
musibah = ujian
dan, 
nikmat = ujian
maka, 
nikmat = musibah = ujian

Hmm, sepertinya persamaannya agak abstrak. Tapi, maksud yang ingin saya tunjukkan adalah apapun bentuknya, baik nikmat yang menyenangkan ataupun musibah yang menyulitkan, semuanya adalah ujian. Ujian untuk naik level lebih tinggi. Input dari Tuhan bisa berupa nikmat atau musibah. Tapi apakah kita berhasil memproses input ini sedemikian rupa dan memperlakukannya sebagai ujian untuk menjadi output 'naik level' bergantung pada diri kita masing-masing.

Tentu, tidak ada larangan merasa bahagia saat mendapatkan nikmat. Itu adalah hal yang manusiawi. Tetapi mengubah pola pikir kita untuk melihat nikmat sebagai ujian dapat membuat kita lebih mawas diri dan sadar bahwa apapun yang diberi oleh Tuhan sifatnya sementara dan membuat kita menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan-tantangan hidup selanjutnya.

Ditulis saat sedang memikirkan langkah lanjutan penelitian
Osaka, 26 Januari 2017

Komentar

Postingan Populer