Hujan dan Kekasih

Aku merapatkan jaketku dan mengubah posisi dudukku. Kembali kulihat air yang menyiram dan mengalir di kecela jendela mobilku. Begitu derasnya hujan sehingga aku tidak bisa melihat dengan jelas mobil-mobil yang berada di luar. Padahal aku paling suka melihat mobil-mobil yang berseliweran di jalan sempit kota Jakarta ini, atau motor-motor yang seperti segerombolan semut yang suka menyelip di sana sini. Angkot-angkot yang ngetem di pinggir jalan, padahal mungkin ada mobil berplat merah di belakangnya yang mengklaksoninya berkali-kali. Atau busway-busway yang dengan tenangnya melenggang di jalur khususnya yang terkadang dilewati oleh pengemudi-pengemudi bandel yang tidak sayang nyawa. Di tengah hujan deras seperti ini, aku dapat melihat anak-anak kecil berkaos oblong bercelana pendek berlari-lari kecil sambil mengikuti ibu-ibu yang menyewa payung-payung mereka. Bahkan uang ribu-ribuan yang mereka terima pun ikut basah oleh hujan. Dan hujan ini memaksa laju mobilku untuk turun drastis 20km/jam jika aku tidak ingin masuk ke ruang UGD. Dan Fadi bukanlah pria bodoh yang mau mengorbankan dirinya untuk ngebut seperti motor yang baru saja memotong jalan kami. Kalau ada ibuku sekarang, pasti dia sudah menyumpah-nyumpahi motor tadi tertabrak oleh mobil pejabat.

Setelah tigapuluh menit, mobil ku telah parkir di depan plaza semanggi. Fadi mematikan mesin, melompat ke jok belakang tanpa alas kaki (tentu saja, aku akan meninjunya kalau dia nekat pakai alas kaki dan mengotori mobil), lalu mengambil payung. Ia lalu turun lewat pintu belakang dan membukakan pintu untukku, dengan payung yang sudah terbuka agar aku tidak kebasahan. Namun, aku lupa untuk menggulung sedikit celana panjang, dan bisa kau tebak apa yang terjadi.

“Ah! Sial…”
“Tenang, sebentar lagi juga kering. Di dalam banyak ac nya, pasti kering.”
Teori macam apa itu?

Komentar

Postingan Populer