Hujan dan Kekasih

Harus kuakui, kadang-kadang Fadi tampak bodoh, hanya tampak, tidak dalam keadaan sebenarnya. Untungnya dia hanya bersikap seperti itu di depanku dan beberapa teman dekatnya saja. Kalau tidak, aku akan sangat malu untuk membawanya menemui orangtuaku suatu saat nanti.

Kami masuk ke dalam berdua, dan Fadi menitipkan payungnya pada satpam di depan. Yah, lebih baik begitu daripada dia harus menentengnya ke sana kemari. Lebih baik dia gunakan tangannya untuk menggandengku bukan?

Sesampai di starbucks, Fadi langsung memesan american black coffee kesukaannya dan green tea untukku. Sebenarnya aku sedikit jengah dengan menu green tea di starbucks ini. Bagaimana bisa mereka menjual teh di sebuah restoran kopi? Apa karena mereka sama-sama minuman? Sama seperti sebuah rumah makan yang memasang foto makaroni panggang di depannya, namun ternyata hanya memiliki dua menu makaroni, dan menu spesialnya adalah sop buntut? Ini kenyataan, dan aku benar-benar pernah datang ke rumah makan seperti ini dan memang agak keterlaluan.

Dan seperti biasa, Fadi akan memesan kue-kue mahal yang dijual di starbucks ini. Sebelum, dia melaksanakan niatnya itu, aku harus segera menarik tangannya dan mengancamnya sedikit dengan mataku dan sedikit kata-kata manis.

“Sini sebentar, sayang…” aku menarik tangannya.
“Hah? Sayang?”

Aku menarik lengan bajunya sehingga kepalanya tertoleh ke arahku.

“Tidak usah beli di sini. Ada yang lebih murah dan enak,” aku berbisik dengan suara sepelan mungkin agar tidak terdengar pelayan yang sudah terheran-heran melihat kelakuan kami berdua.
“A…ooo…baiklah,” jawab Fadi menurut.
“Maaf, pak, jadinya ingin pesan apa lagi?” tanya si pelayan.
“Cukup, cukup yang tadi saja…”

Fuh, aku tidak harus keluar uang duapuluh ribu hanya untuk sepotong kue berukuran 10x10 cm.

Komentar

Postingan Populer