Hujan dan Kekasih

Kami mengambil tempat duduk sofa yang menempel di jendela kaca. Air hujan terlihat jelas dari sini. Fadi meletakkan minuman kami berdua dan duduk di hadapanku. Diambilnya kopi miliknya dan dihirupnya pelan. Aku melipat kakiku dan bertopang dagu, lagi-lagi menatapi jendela yang dialiri air hujan. Green tea yang ada di depanku belum kusentuh. Masih terlalu panas dan tidak cocok untuk lidahku yang seperti lidah kucing.
“Minum kopi tanpa makanan kecil, terasa kurang mantap,” Fadi meletakkan kembali cangkir kopinya. Aku meliriknya sedikit dan Fadi langsung langsung terkesiap sambil tertawa hambar.
“Tapi, hujan dan kehadiranmu membuat rasa kopi ini sangat enak.”
“Heh, memangnya aku peri kopi?”
“Ahhahahaha, aku kan tidak bilang begitu.”
Fadi mengeluarkan jam sakunya dan memasukkannya kembali ke saku bajunya.
“Sudah tiga menit, pasti sudah tidak terlalu panas.”
“Hm…”
Aku mengambil cangkir keramik jepang yang ada di depanku. Memutarnya, baru menghirup isinya sedikit. Aku kembali melirik jendela yang dialiri air hujan. Entah sejak kapan, hal ini menarik perhatianku. Terlihat sepi dan membosankan, tapi meninggalkan suatu bekas dalam pikiranku. Sebenarnya apa yang pernah dilakukan hujan dalam hidupku?
Aku meletakkan cangkir di tatakannya. Saat mendongakkan kepala, aku melihat Fadi yang sedang menatap jendela, persis seperti yang aku lakukan tadi. Wajah dan matanya terlihat sendu, alisnya turun, namun senyum nya indah seperti lukisan.
“Hujan ini merebut banyak hal dariku,” ucapnya tiba-tiba. Fadi menoleh ke arahku. “Namun, dia juga telah memberiku sebuah rubi yang belum dipotong, warnanya semerah darah, namun kilaunya mengalahkan berlian mahkota Putri Diana.”
Fadi tersenyum ramah.
Aku kembali terbengong dengan mata sedikit membelalak dan mulut yang terkatup rapat.
“Kau…cantik…”
Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Ah, sial! Aku tidak ingin dia melihat ini. Wajahku pasti sudah semerah kulit lobster panggang. Bagaimana bisa dia mengatakan hal-hal seperti itu?
“Pulang…”
“Heh?”
“Ayo pulang.” Aku berdiri mengambil billabong kecilku dan mengambil langkah lebar meninggalkan tempat kami duduk. Pelayan yang tadi melayani kami melihatku heran dan ganti melihat Fadi yang masih duduk sambil tersenyum.
Ukh, sial!

Komentar

Postingan Populer