Guru Bangsa 'Tjokroaminoto' - Sebuah Pembelajaran

Image result for tjokroaminoto guru bangsaSaya tidak pernah menyangka bahwa sebuah film akan terus membuat saya bertanya-tanya dalam kepala dan hati saya, 'Apa yang sebenarnya saya cari di dunia ini?'

Saya pernah sharing dengan seorang teman yang sama-sama saya tahu dia juga tengah mengkhawatirkan masa depannya (tapi mungkin dia terlihat lebih santai). Saat saya berkata 'sepertinya saya telat baru memikirkan hal ini sekarang'. Dengan santai dia berkata bahwa saya sama tidak telat menurutnya, dan saya masih punya banyak waktu.
Well, let's back to the topic. Tentang film yang saya sebutkan. Bulan lalu saya menonton sebuah film 'Guru Bangsa, Tjokroaminoto' di tengah hingar bingar Fast Furious 7 yang diputar lebih dari 2 studio di bioskop di dekat tempat saya bekerja. Di kondisi keuangan yang menuntut harus sedikit berhemat, namun di tengah kegemaran saya menonton film di bioskop beberapa bulan terakhir, saya rasanya INGIN SEKALI memanjakan pendengaran, penglihatan dan pemikiran saya dengan sebuah film. Apalagi saat saya melihat jajaran nama casting nya (Reza Rahadian, Christin Hakim, Didi Petet, Sujiwo Tedjo dan melihat Garin Nugroho sebagai sutradaranya). Saya tahu film 'Guru Bangsa' dari teman yang saya ceritakan tadi saat dia memposting sebuah tulisan dari kompasiasa tentang bagaimana Pak Soekarno, Semaun, dan Kartosuwiryo pernah menjadi anak kost di rumah Tjokroaminoto, dan bagaimana sang guru mempengaruhi anak-anak kost dan ini dan menjadikan mereka memiliki buah pikiran yang berbeda satu sama lain namun tekad juang yang sama besar. Lalu saya pun memutuskan untuk menghabiskan 160 menit waktu saya untuk melihat karya yang hebat ini.

Saya tidak akan menceritakan bagaimana film ini disusun dengan begitu indah, penuh dengan bahasa-bahasa puitis yang menggetarkan. Namun, saya ingin menceritakan bagaimana mata saya berkaca-kaca saat melihat Tjokro kecil yang mengambil helaian kapuk dengan titik-titik darah yang berasal dari darah kaki budak jawa yang dipukul oleh seorang Belanda. Dan saat Tjokro duduk di penjaranya, menanyakan pada dirinya dan Tuhan jika inilah hijrah yang selama ini ia cari.

Ada perbedaan saat saya menonton 'Habibie dan Ainun'. Habibie hidup dengan idealisme dan mimpinya, menciptakan pesawat yang dia harapkan dan menyelesaikan masalah ketidakmerataan bangsa. Sedangkan Tjokroaminoto, memilih untuk keluar dari kehidupan nyamannya sebagai anak bangsawan dan menantu Bupati untuk menjadi wadah aspirasi menuntut kemerdekaan. Mereka hidup di zaman yang berbeda, dengan tantangan yang berbeda. Namun, kesamaan mereka adalah mereka hidup untuk mewujudkan misi hidup mereka.

'Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja) sedang Alloh belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Alloh, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Dan Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S At Taubah : 16)

Saya mempunyai seorang rekan kerja yang cukup senior di atas saya, mungkin umurnya seusia ibu saya. Saya melihatnya sebagai sosok yang sangat dewasa dan bijak, karena banyak juga orang yang sudah berumur namun belum dewasa. Setelah 6 bulan pengalaman pertama saya di dunia akademis, saya melihat banyak hal dan membuat saya berpikir dan  menanyakan banyak hal. Jadi iseng, saya bertanya pada senior saya itu hari ini, 'Pak, PhD Indonesia itu harusnya ngapain ?'

Mungkin pertanyaan yang agak telat untuk ditanyakan karena saya sudah memutuskan untuk melanjutkan studi saya. Tapi, okelah.

'Banyak Bu, yang bisa dikerjakan, terutama jadi pendidik.' Lalu saya menangkap apa yang ia maksud sebagai pendidik. Ia menceritakan pengalamannya saat berada di sebuah badan penelitian milik negara (walau dia tidak menyarankan saya untuk bekerja di tempat itu). Yang jelas dia mengatakan 'Kalau Ibu sudah memutuskan untuk bergerak di bidang akademis, sebenarnya banyak yang bisa dikerjakan. Hanya saja di sini (mungkin maksudnya Indonesia) kita punya banyak keterbatasan.'

Dulu saya membayangkan bahwa hidup sebagai seorang akademisi itu akan cukup comfort, safe, dan fleksibel terutama nanti jika saya sudah berkeluarga. Tapi, lalu saya bertanya lagi pada diri sendiri 'Apa benar itu yang saya cari?'

Ada sedikit hiburan dari jawaban senior saya itu. 'Tapi, kalau jodoh yaa saya tidak tahu ya, Bu. Mungkin nanti ketemu. Sekuat apa pun kita berusaha, kalau Tuhan bilang 'bukan', ya berarti jalannya seperti itu.'

Saya menyambut jawaban senior saya itu dengan tawa. Bahkan perbincangan soal jodoh cukup saya hindari belakangan. 'Jadi dijalani saja ya Pak.'

'Ya dijalani saja, Bu.'

Mungkin saya terdengar muluk, mungkin saya terlihat ribet. Bahkan saya sendiri bertanya seperti ini kepada ayah saya saat saya menanyakan beberapa hal fundamental yang JUJUR saya merasa sangat penasaran. 'Apakah saya membuat hidup saya jadi lebih ribet dengan mempertanyakan hal-hal ini?'

Lalu ayah saya menjawab 'Afalaa tatafakkarun'

Tidakkah Engkau berpikir?


Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?" (Q.S. Al An'am: 50)

Kita seringkali melakukan hal yang biasa orang lakukan, karena tidak ingin terlihat aneh di mata orang lain. Kita melakukan hal yang dianggap hebat oleh orang, tanpa sadar kita menjadikan orang lain standar kita. Haruskah kita bertanya 'Apa kita ingin hidup untuk memenuhi standar orang lain?'. Ya, kita harus mempertanyakan ini dan menjawabnya dengan kata 'Tidak'.

Komentar

Postingan Populer