Hujan dan Kekasih

Aku mematikan notebookku lalu beranjak pelan-pelan dari tempatku duduk, menggunakan handphone sebagai senter. Kuambil kunci mobil dan dompet yang untungnya tidak berada jauh dariku. Jujur saja, aku benci kegelapan dan mencari barang di tengah kegelapan bukanlah hal yang kusuka.

Aku membuka pintu kamar dan menguncinya. Kini giliran pintu kamar Fadi yang kubuka dengan kunci duplikat yang kumiliki. Kami berdua memang bertukaran kunci duplikat untuk berjaga-jaga kalau hal seperti ini terjadi. Dan ini tentunya adalah ide Fadi, bukan ideku.

Entah kenapa kamar Fadi terasa lebih gelap, mungkin karena kamarnya menghadap barat. Sesaat kamarnya terasa lebih dingin, lebih dingin dari kamarku yang bersuhu 20oC. Ah, pasti Fadi membiarkan AC kamarnya menyala saat pergi tadi. Jelas saja kamarnya jadi lebih dingin, terlebih karena tidak ada siapa pun di kamar ini sejak tadi subuh.

Aku segera melangkah menuju kamar kerja Fadi, tidak ingin berlama-lama memikirkan kenapa kamarnya terasa lebih dingin daripada kamarku. Aku masuk ke kamar kerja yang pintunya dibiarkan terbuka. Aku dapat melihat walaupun dengan samar, buku-buku dan kertas-kertas yang berserakan. Rotring, pensil, penghapus…Haaah, dasar arsitek. Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan map merah yang dimaksudkan oleh Fadi.

Aku segera mengambilnya dan meninggalkan kamar Fadi tanpa lupa mematikan breaker listrik di kamarnya agar AC nya tidak hidup jika nanti listrik menyala dan mengunci pintu depan kamarnya. Aku segera turun menggunakan lift dari lantai 11 menuju basement tempat mobilku diparkirkan Fadi tadi malam.

Mobilku melaju cukup kencang di tengah hujan yang lagi-lagi deras. Suara petir terdengar dengan jelas di telingaku dan aku berusaha mengalihkan perhatianku dengan memikirkan apa yang akan kubuat untuk makan malam nanti. Namun, suara petir tetap saja membuatku takut untuk melaju kencang. Aku pikir, mungkin aku cukup melaju dengan kecepatan 20 atau 30 km/jam. Lagipula Fadi tidak memberiku batas waktu paling lambat untuk mengantarkan map merahnya.

Aku menekan tombol volume tape di mobilku berkali-kali, berusaha membuat suara Ryu yang merdu dalam From the beginning until now, tidak kalah dengan suara petir yang terus terdengar, paling tidak cukup di mobil ini saja, sehingga aku dapat merasa sedikit lebih tenang. Lampu merah yang menyala lima ratus meter di depan mobilku, membuatku menginjak pedal rem perlahan. Siang ini, jalan di sekitar mega kuningan tidak terlihat ramai. Mungkin karena hujan, orang-orang jadi malas untuk keluar dari kantor hanya untuk sekedar makan siang. Apalagi untuk orang seperti Fadi aku yakin dia pasti akan sangat malas untuk makan siang. Dengan keadaan normal saja, dia bisa tidak makan, apalagi hujan deras seperti ini, aku sangat yakin dia pasti malas untuk pergi ke mana-mana.

Lampu hijau menyala, dan aku kembali tancap gas. Aku melirik map merah yang tergeletak di kursi di sampingku. Berkas penting apa yang bisa tertinggal bagi seorang arsitek seperti Fadi? Seingatku dia tidak pernah membawa selembar kertas pun ke kantornya ataupun saat dia pergi mengajar di universitas. Yang ia bawa hanyalah PDA nya, dan sebuah pena, itu saja. Dia tidak pernah membawa hasil rancangannya dalam bentuk hardcopy. Kuakui, Fadi adalah seorang arsitek yang sangat modern, dia akan memasukkan semua hasil rancangannya ke dalam harddisk miliknya, walau tentunya seluruh sketsanya tersusun rapi di ruang kerjanya, namun itu pun tidak pernah sekali pun ia bawa kemana-mana. Lebih tidak mungkin lagi kalau map ini berisi nilai-nilai mahasiswanya. Heh, yang satu ini benar-benar tidak mungkin.

Handphone yang kuletakkan di pangkuanku bergetar. Kutekan handsfree yang menggantung di telingaku, sesuatu yang selalu diingatkan oleh Fadi saat aku akan menyetir mobil.

“Halo?”

“Sudah sampai mana?”

“Kuningan, sebentar lagi sampai.”

“Nanti kutunggu di basement tempat parkir ya…”

“Di ruanganmu saja tidak apa-apa. Nanti biar aku yang ke atas. Oh, ya, ngomong-ngomong map ini isinya apa?”

“Heh?”

“Kau kan jarang sekali bawa-bawa map seperti ini.”

“Oh, cuma sketsa yang lupa kubuat softcopy nya di komputer karena semalam sudah terlalu larut untuk menyelesaikannya.”

“Oooh, begi-,”

TAAARR!!

“AAAAAAA!” teriakku, serentak menginjak pedal rem dengan mendadak. Tubuhku terdorong ke depan, diikuti dengan suara ban yang beradu dengan jalan aspal. Pada saat yang bersamaan aku juga mendengar suara yang sangat keras, seperti suara dua benda yang saling beradu, tapi aku tidak tahu apa. Tidak lama berselang, terdengar suara klakson-klakson dari belakang mobilku, berkali-kali, dan suara petir tetap tidak berhenti walau suara tape mobil sudah diset dengan suara yang paling keras. Aku memejamkan mataku rapat-rapat, memegang setir mobil dengan erat dan menundukkan kepalaku. Aku benci hujan dan gelap, tapi aku lebih benci dengan petir. Aku mendengar suara Fadi yang memanggilku berkali-kali dan suaranya terdengar sangat khawatir. Aku ingin menjawabnya, namun suaraku tidak keluar. Petir ini benar-benar mengalahkanku.

“Rei!”

Sial!

Komentar

Postingan Populer