Hujan dan Kekasih

“Rei! Rei!” aku berteriak memanggil namanya berkali-kali. Namun, tidak terdengar jawaban. Aku kembali memanggilnya namun hasilnya sama saja. Yang kudengar hanyalah suara klakson yang saling bersahut-sahutan, suara petir, dan alunan lagu yang terdengar sangat pelan. Napasku tercekat di tenggorokan. Semalas-malasnya Rei menjawab panggilanku, dia tidak akan pernah mendiamkanku seperti ini.

Dan satu-satunya yang melintas di pikiranku saat ini bahwa Rei bukannya tidak ingin menjawabku, tapi dia tidak bisa menjawabku. Aku segera meraih gagang telepon di atas mejaku dan menekan satu-satunya tiga angka darurat yang bisa kuingat di tengah perasaan yang kacau ini. Aku tidak mematikan handphoneku yang masih terhubung dengan handphone miliknya agar dia bisa menjawabku jika dia sudah bisa melakukannya. Setelah menghubungi polisi dan ambulance walau aku tidak tahu pasti di mana Rei sekarang tepat berada di mana, aku segera berlari keluar dari ruanganku dan menuruni tangga dari lantai tiga, tidak ada waktu untuk menunggu lift tentu saja. Aku segera menghampiri mobilku dan tancap gas menuju tempat yang terakhir kali disebutkan oleh Rei.

Hujan ternyata sangat deras di luar, aku tidak menyadarinya karena berada di dalam gedung seharian. Dan bukan itu saja, ternyata petir yang besar terus menggelegar. Aku bisa membayangkan Rei yang ketakutan saat mendengar suara petir ini. Dia pasti berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan menyetel lagu di dalam mobil dengan volume yang kencang. Namun, ternyata hal itu tidak berguna. Seharusnya aku tidak memintanya untuk mengantarkan map itu kepadaku.

Untunglah jalan tidak terlalu ramai saat itu. Aku dapat langsung menemukan keramaian yang mencolok tidak jauh dari menara Batavia. Orang-orang berkerumul dan mobil-mobil menghentikan lajunya, berusaha untuk mengetahui apa yang terjadi. Aku segera menghentikan mobilku dan keluar dengan membanting pintu sangat keras. Aku berlari menuju pusat kerumunan, berusaha mencari jalan dari orang-orang yang seolah tidak menyisakan tempat untuk lewat dan langkahku terhenti saat melihat Camry hitam itu. Bagian depannya remuk karena menabrak pembatas jalan. Aku segera berlari mendekati bagian depan mobil dan kulihat dia masih di dalam. Jendelanya berembun karena dingin sehingga aku tidak bisa melihat dengan jelas ke dalam. Namun, aku tahu dia tidak bergerak sedikit pun di dalam sana. Oh, Tuhan, kenapa tidak ada seorang pun yang berinisiatif untuk segera mengeluarkannya dari sini?

Aku bergegas menuju bagian kiri belakang mobil, mencari-cari sesuatu yang dapat kugunakan untuk memecahkan kaca jendela. Tidak ada!

Aku segera mengambil kuda-kuda, mengayunkan kakiku ke arah kaca jendela dan membuat lubang yang cukup besar dalam sekali tendangan. Tanganku meraih tombol kunci pintu dan menariknya. Begitu berhasil masuk ke dalamnya, aku langsung meraih tubuh Rei yang masih dalam posisi duduk dengan kepala tertunduk di atas setir, kedua tangannya menggenggam setir itu dengan erat. Saat kuangkat kepalanya, cairan berwarna merah mengalir ke pipinya. Darah…

“Rei! Rei!”

Suara sirine mobil polisi dan ambulance meraung-raung siang itu, memecahkan keheningan hujan yang lebat dan menenggalamkan suaraku yang terus menerus memanggil namanya.

Komentar

Postingan Populer