Hujan dan Kekasih

Aku berjalan di tengah hujan yang sangat deras dan angin yang bertiup dengan kencang. Aku menarik jaket cokelatku menutupi seluruh tubuhku, berusaha mengurangi rasa dingin yang terasa menusuk hingga ke tulang. Bagaimana aku bisa berjalan di tengah hujan seperti ini, tanpa jas hujan ataupun payung? Dan yang lebih aneh lagi kenapa tidak ada apa pun di sekelilingku?

Hanya air hujan yang terus menerus turun dari langit, menusuk-menusuk kulit muka dan leherku yang tidak terlindungi oleh rambutku yang pendek. Bahkan langit pun tidak terlihat di tengah hujan ini. Setiap kutengadahkan kepala, aku hanya membuat mataku terasa perih dengan air hujan yang masuk ke dalamnya.

Aku berhenti berjalan dan menggosok mataku, berusaha mengurangi rasa perih di mataku. Air apa ini? Bahkan air sabun yang masuk ke mataku saat aku keramas saja tidak seperih ini rasanya. Apakah pesawat pembuat hujan telah salah membuang garam pembuat hujan menjadi natrium hidroksida atau bahkan asam klorida ke tanah bumi yang sudah gersang ini? Ah, kalau itu benar-benar terjadi, mataku pasti sudah meleleh sekarang dan aku tidak mungkin bisa setenang ini tanpa berteriak sedikitpun. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, berusaha membukanya perlahan. Aku berhasil membuka kedua mataku, tapi yang ada di sekelilingku sama saja. Hanya hujan dan hujan.

“Rei…”

Oh, aku tahu suara ini…

“Rei…bangunlah…”

Apakah aku sedang tidur?

“Rei, my dear…buka matamu.”

Suara itu terdengar begitu menyedihkan, memohon-mohon seolah keinginannya tidak akan dikabulkan. Hei, kau hanya memintaku untuk membuka mata kan? Akan kubuka mataku, tapi berhentilah berkata-kata dengan suara seperti itu, aku tidak suka laki-laki yang payah.

Aku berusaha membuka mataku, namun terasa berat sekali seolah-olah mataku ditutup dengan penjepit yang sangat kuat. Saat aku terus berusaha membuka mataku, aku merasakan tangan yang hangat menyentuh punggung tanganku. Ini tangannya, tangan yang tidak pernah ia gunakan untuk menyentuh bahkan tanganku sekali pun. Tangan yang selalu ia gunakan untuk menggambar sketsa-sketsa cantik hingga ujung jempol dan telunjuknya terasa sedikit kasar dibandingkan jari-jarinya yang lain. Namun, kali ini dia memegang tanganku dengan lembut dan aku bisa merasakan gemetar dari tangannya yang membuat perasaanku menjadi tidak enak.

Aku berusaha untuk memberitahunya bahwa aku sudah sadar dengan menggerakkan tanganku yang dipegang olehnya. Sulit sekali menggerakkannya, walau hanya satu jari. Namun, tidak lebih sulit saat aku berusaha untuk membuka mataku. Mataku yang sangat berat seolah tidak ingin dibuka untuk selama-lamanya…

Komentar

Postingan Populer