Hujan dan Kekasih

Percakapan itu terjadi dua tahun yang lalu, saat aku baru saja lulus kuliah program sarjana. Sekarang pun, Fadi sama sekali tidak pernah berniat masuk ke dalam kamarku. Jadi, biasanya percakapan kami berlangsung di depan pintu, duduk di lantai koridor atau di beranda tepat di depan kamarku. Setengah jam atau satu jam setelah kami ngobrol, suara ibu yang menyuruh kami turun untuk makan akan terdengar. Lama-lama aku sadar, ternyata selama ini Fadi selalu datang mendekati waktu makan di keluargaku.

Aku bisa menebak kalau dia tidak sempat atau malas memasak sendiri, berhubung dia tinggal sendiri di rumah dan dia memiliki seorang tunangan yang tidak ingin merepotkan dirinya sendiri memasak untuknya. Selain itu, aku yakin dia tidak memiliki bahan-bahan makanan yang diperlukan untuk memasak di kulkasnya. Yang ada di kulkasnya hanyalah susu, air mineral, buah dan telur. Sesuatu yang bisa dimakan secara langsung tanpa harus repot-repot ke dapur, kecuali telur tentunya. Biasanya Fadi hanya akan merebus telurnya matang atau setengah matang. Tidak heran kalau dia sering mengeluh sakit perut karena makannya yang tidak teratur. Kalau sudah begitu, aku harus menyediakan obat maag atau segera membawanya ke rumahku untuk menghabiskan makanan yang dibuat ibuku.

Walaupun dia terlihat pelit jika dilihat dari jumlah makanan yang ada di dalam kulkasnya, dia bisa menjadi sangat boros jika sudah mencari makanan di luar rumah. Dia akan membeli apa pun yang bisa ia makan, dan makanan yang dimakannya itu tidaklah murah. Dia seringkali menghabiskan waktu di Sushi Tei. Padahal jika kupikir-pikir, apa kenyangnya makan nasi yang dibentuk tidak lebih besar dari genggaman jari dan dengan potongan daging ikan mentah di atasnya. Ukh! Entah kenapa seleraku dengannya tidak pernah sama. Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan makan ikan panggang di warung lesehan, menikmati angin yang semilir di atas pondok bambu yang dibangun di atas tambak ikan atau udang.

Tapi, perbedaan itulah yang membuat kami bersama, begitulah yang pernah dikatakan ibuku.

-------------------------------------------------------------------------------------

Telepon di kamar apartemenku berdering siang itu, saat aku sedang asyik-asyiknya membaca jurnal milik temanku yang maju ke seminar internasional. Aku mengangkatnya dengan sedikit malas, sambil menutup salah satu telingaku karena suara petir yang sangat kencang.

“Halo?” ucapku sambil sibuk mengklik mouse pad hp miniku.

“Rei? Apa kau bisa membantuku?” tanya sebuah suara yang sudah sangat familiar di telingaku. Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba listrik pun padam. Ruanganku yang sudah cukup gelap karena semua gordennya kututup kini benar-benar menjadi gelap gulita.

“Oh, sial!”

“Ah, kalau kau tidak mau juga tidak apa-apa,” ucap suara itu sedikit kecewa.

“Oh, bukan! Bukan begitu Fadi…Listrik tiba-tiba mati dan kamarku menjadi benar-benar gelap, itu saja. Lalu, ada apa?” aku berusaha meraih handphoneku dengan meraba-raba. Seingatku tadi aku meletakkannya di dekat notebookku. Bahkan cahaya lcd notebookku tidak cukup untuk menerangi sekelilingku dalam radius satu meter.

“Mati listrik? Ya, sudah kalau begitu tidak usah. Bahaya kalau kau terjatuh saat berusaha untuk keluar dari kamar.”

“Tidak, sungguh…aku malah ingin segera keluar dari kamar ini. Sepertinya gensetnya sedang rusak, sehingga listriknya tetap mati.”

“Sungguh?”

“Kalau kau masih bertanya seperti itu, aku sungguh akan mematikan teleponmu ini.”

“Baik, baik, aku mengerti…Apa kau bisa membawakan map berwarna merah yang aku letakkan di meja kamarku? Ada berkas-berkas penting di sana dan aku lupa membawanya tadi pagi.”

“Ah, sekarang kau mengingatkanku…betapa sulitnya untuk keluar kamar, memasukkan kunci kamarmu, mencari ruang kerjamu dan mengambil map yang warnanya sulit terlihat dalam keadaan seperti ini.”

“Kalau begitu tidak usah saja. Aku tidak ingin membawamu ke dokter lagi untuk menyembuhkan angkel kakimu yang terantuk saat kau berjalan dalam keadaan mati listrik seperti ini.”

“Terima kasih, tapi tidak. Aku akan sampai di sana dalam dua puluh menit,” jawabku sambil menjauhkan gagang telepon dari telingaku untuk meletakkan di tempatnya semula.

“Ah, tunggu!” Fadi membuat tanganku yang memegang gagang telepon itu tergantung.

“Apa lagi?” tanyaku tanpa meletakkannya kembali di telingaku.

“Hati-hati,” ucapnya pelan. Aku tersenyum pelan mendengarnya, “Hum.”

Komentar

Postingan Populer