Ujian Nasional - Menjadi Sebuah Evaluasi Proses dan Usaha Pemerataan Pendidikan

Image result for ujian nasional
credit to pemerintah.net
Momen Ujian Nasional 2015 telah berlalu. Ujian Nasional tahun ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Semoga ini menjadi pertanda baik pendidikan Indonesia di masa depan. 



Sedikit Kilas Balik 

Memori pertama saya tentang ujian nasional adalah kira-kira pada tahun 2003, di mana waktu itu masih bernama EBTANAS. Saya tidak ingat betul berapa batas minimal nilai kelulusan pada waktu itu, tapi yang jelas ada batas kelulusan. Saya masih ingat bagaimana wali kelas saya dulu men-drill siswa kelas 6 sejak hari pertama sekolah dengan soal, soal, dan soal agar kami terbiasa dengan berbagai macam jenis soal. Saya juga ingat bagaimana ibu saya memanggilkan seorang guru yang kebetulan adalah bibi dari ibu saya sendiri untuk memberikan pelajaran tambahan kepada saya dan adik saya saat itu. Hari-hari saya selama tahun terakhir sekolah dasar penuh dengan soal-soal yang memenuhi buku latihan saya. Namun, kalau saya ingat-ingat sekarang, saya sendiri tidak paham jika saat itu akan ada proses evaluasi di akhir tahun yang menentukan kelulusan. Yang ada di otak saya waktu itu hanyalah, bagaimana saya bisa menyelesaikan berbagai macam soal.

Hal yang sama juga terjadi waktu saya duduk di kelas 3 SMP. Kelas 3 SMP saya habiskan di tiga sekolah, satu bulan pertama di SMPN 6 Palembang, 2 bulan berikutnya di SMPN 1 Palembang, dan sisanya di SMPN 6 Malang. Saat saya berada di SMPN 1 Palembang, saya cukup kaget karena itu pertama kalinya saya belajar dengan menggunakan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Untungnya, saat pindah ke SMPN 6 Malang, disana yang digunakan adalah kurikulum 1994 yang saya ikuti selama saya duduk di kelas 1 dan 2 SMP. Karena di akhir tahun ke-3 akan diadakan ujian nasional (waktu itu namanya masih Ujian Akhir Nasional), maka saya ingat bagaimana bahan 2 semester dihabiskan di 1 semester pertama, dan semester berikutnya dihabiskan dengan membabat soal-soal kelas 1 sampai kelas 3 dan try out. Ibu saya mengikutkan saya ke sebuah lembaga bimbingan belajar, dimana saya pun mengerjakan soal-soal dan tryout sampai sore. Sampai malam pun terkadang saya masih sibuk belajar dan mengerjakan soal.

Hal ini terulang kembali sewaktu saya duduk di kelas 3 SMA, dimana ujian yang akan dihadapi adalah Ujian Nasional dengan batas kelulusan nilai minimal masing-masing mata pelajaran 4,25 dan rata-rata nilai minimal 5,25. Sama seperti saat SMP, 1 semester pertama di kelas 3 dihabiskan untuk menyelesaikan bab bahasan kelas 3, sedangkan semester 2 untuk belajar menyelesaikan soal dan try out hingga bulan April.

Pertanyaan saya after all of these exams flashbacks ... what did I really get with these exams?

Ujian Nasional, sebuah momen evaluasi
Ujian nasional dibangun dengan objektif awal membuat sebuah standar untuk mengetahui jika proses pendidikan terlaksana dengan baik. Bukan hanya Indonesia yang melaksanakan ujian semacam ini, negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam pun memiliki standarnya sendiri. Saya tidak tahu seperti apa ujian nasional di Malaysia dilaksanakan, tapi mungkin bisa dibaca sebentar di sini. Namun, beberapa negara maju ternyata diketahui tidak melaksanakan ujian nasional, seperti Amerika Serikat atau Australia, mereka melaksanakan ujian state.

Saya cukup terkaget saat membaca beberapa artikel tentang pelaksanaan pendidikan di beberapa negara maju seperti Finlandia, Jerman, juga Australia. Bos saya yang pernah studi di Australia pun menceritakan bahwa saat anak-anaknya bersekolah di Australia, ia sadar bahwa pendidikan dasar di Australia tergolong mudah dan menyenangkan. Hal ini juga saya temukan saat membaca buku 'Self Driving' karangan Prof. Rhenald Kasali saat dia menceritakan bahwa anaknya mendapat nilai EXCELLENT saat mengerjakan tugas menulis paragraf bahasa Inggris, padahal anaknya adalah pendatang yang belum pandai berbahasa Inggris. Lalu di sini lah saya paham bahwa pendidikan di negara maju fokus pada proses bukan hasil. Negara mempersiapkan fasilitas yang sebaik-baiknya yaitu berupa sistem pendidikan, guru, kurikulum, dan yang paling penting semua fasilitas ini dibuat standar, sebuah hal yang tidak ditemukan di Indonesia. Kita sangat bahwa mungkin sekolah yang paling tidak populer di kota besar seperti Jakarta mungkin memiliki kualitas yang masih lebih baik dibandingkan sekolah-sekolah di pedalaman.

Lalu, jika standarnya saja sudah tidak sama, bagaimana mungkin pemerintah menciptakan sebuah evaluasi yang menyamakan kemampuan seluruh siswa yang ada di Indonesia ini? Terasa begitu ironis.

Saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Pak Anies Baswedan menyampaikan bahwa UN tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan, tentunya ini menjadi angin segar bagi para pelaksana pendidikan dasar dan menengah juga para siswa di seluruh Indonesia. UN kini menjadi salah satu alat pemerintah untuk melakukan pemetaan kualitas pendidikan. Semoga ke depannya hal ini benar-benar dapat terwujud dengan baik yaitu dengan memanfaatkan hasil UN, pemerintah dapat membuat peta pendidikan dalam rangka menstandarkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Tidak dipungkiri bahwa banyak sekali hal-hal negatif yang terjadi karena UN yang dijadikan standar kelulusan, seperti kecurangan (yang sangat tersistem bahkan didalangi oleh pihak sekolah), pembocoran soal dan beredarnya kunci jawaban, belum lagi dampak psikologis bagi siswa yang tidak lulus dengan banyaknya kasus bunuh diri.

Jika tujuan pendidikan adalah mendidik manusia yang manusiawi, maka sungguh tujuan UN telah menyimpang jauh. Maka jangan heran jika sampai sepuluh atau duapuluh tahun ke depan Indonesia masih akan menghadapi penyakit bangsa yang bernama KORUPSI. 

Salah siapa?

Mempersalahkan pihak tertentu tentunya tidak akan menyelesaikan masalah. Namun tentunya mengetahui sumber masalah dapat membantu kita dalam menyelesaikannya. Langkah yang diambil oleh Pak Anies menurut saya sudah cukup tepat dalam mencegah kecurangan-kecurangan dan upaya bunuh diri beberapa tahun ke depan. Dari sini, tentunya upaya untuk penyetaraan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia menjadi peer besar bagi pemerintah jika mengingat sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Semoga penyesuaian pelaksanaan UN ini menjadi langkah awal bagi pemerintah untuk penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang lebih baik dan merata.

Komentar

Postingan Populer