Kopi dan Dia (1)

“Aku yakin kalau semua pengarang kisah romantis adalah wanita atau pria yang gagal romantis,” ucapnya setelah menyesap kopi favoritnya di kafe kecil tempat kami biasa bertemu.

“Oh ya? Kenapa begitu?” tanyaku tanpa menatapnya, fokus pada potongan salad di mangkuk kecil di hadapanku.

“Karena kebanyakan pria tidak romantis, dan sebenarnya tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti film romantis.”

Aku tertawa pelan. “Kau bicara seperti kau pernah hidup sebagai seorang pria.”

“Tidak perlu menjadi seorang pria hanya untuk mengerti hal seperti ini.”

Aku kembali tersenyum mendengar ucapannya. Gadis di depanku ini tidak pernah berhenti memukauku dengan ucapan-ucapannya yang sedikit random tetapi berhasil membuatku memutar otak.

“Sebenarnya kita juga menyukai hal-hal yang romantis.” Aku menatap matanya lekat-lekat.

“Oh ya?” gantian dia yang mempertanyakan ucapanku.

“Kami hanya tidak pandai mengeskpresikannya.”

Dia menjentikkan jarinya. “That’s exactly what I meant!”

But, you didn’t say it. Kamu bilang kalau kalau kami para pria tidak romantis.”

“Ya, kurang lebih aku bermaksud sama dengan yang kau bilang barusan.” Dia tersenyum jengah.

Okay, okay… I will let you have it this time.”

Dia tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang rapih.

Aku menyesap kopiku yang mulai mendingin. “Jadi apakah aku masuk golongan romantis?”

“Hmm. Mungkin?”

Aku mengangkat alisku. “Mungkin?”

“Lagipula aku tidak butuh lelaki romantis,” ucapnya yang ia tutup dengan tawa kecil.

Komentar

Postingan Populer